Jakarta, Aktual.com — Pakar hifrologi Universitas Gadjah Mada Agus Maryono menyatakan untuk mecegah kekeringan berulang agar digunakan pendekatan berbasis ekoregion.
“Baik desa maupun kota harus dilihat dalam perspektif sebagai bagian dari daerah aliran sungai (DAS). Sebagai bagian dari DAS, tempat tersebut harus mengelola air hujan dengan konsep tampung, resapkan, alirkan, pelihara,” kata Agus di Jakarta, Kamis (1/10).
Masyarakat di desa, kata dia, harus bisa mengelola air hujan pada musim penghujan. Dengan menangkap dan menanam air hujan, dampak El-Nino bisa dikurangi. Air hujan bisa ditampung melalui tangki, ember atau membuat danau buatan.
“Air ditampung dulu, untuk jadi air bersih, sisanya diresapkan dan dipelihara,” ujar Agus.
Hal yang sama berlaku di kota. Kota harus bisa menangkap air hujan, misalnya di Jakarta, kata dia, 75 persen lahan bangunan beratap. Jika semua warga bisa menampung air hujan, maka bisa ditampung mencapai 600 juta meter kubik dengan asumsi tiap satu hektare lahan, bisa menampung 325 meter kubik.
“Jika kemarau panjang, sangat bermanfaat. Korea, Jepang dan negara lain mulai menerapkan hal ini. Mereka mengembangkan beberapa model bak tampung. Bahkan di Queensland, semua rumah menggunakan air hujan untuk mandi. Mereka punya tangki menangkap air hujan. Jakarta juga harus mulai menerapkan langkah ini,” tuturnya.
Industri, menurut dia juga diimbau menerapkan konsep itu. Hingga air yang masuk ke kota bisa ditanggulangi. Pengelolaan danau dan situ di pemukiman perlu dilakukan.
Tanah yang tidak terpakai bisa untuk membuat danau buatan. Juga harus dipastikan volume air tidak berkurang, meskipun kemarau berkepanjangan.
Masyarakat bisa menanam pohon dan rumput gajah dan perdu di sekeliling danau. Ketika kemarau panjang, meski terjadi penguapan volume air akan tetap terjaga.
“Ini bukan pekerjaan yang sulit. Kampanye harus dilakukan. Saluran drainase bisa dibuat ‘cascade’. Air hujan bisa diresapkan. Masyarakat bisa membuat sumur resapan di rumah sendiri,” jelas dia.
Artikel ini ditulis oleh: