Jakarta, Aktual.com — Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim menolak pendekatan teori ekonomi “trickle-down” yang menyatakan manfaat kebijakan yang menguntungkan lapisan atas masyarakat akan berdampak kepada mengucurnya kesejahteraan kepada lapisan bawah masyarakat.
“Fokus pada pertumbuhan PDB (pertumbuhan domestik bruto) adalah simplistik. Kami menolak pendekatan ‘trickle down’,” kata Jim Yong Kim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (2/10).
Berdasarkan ensiklopedia dunia maya Wikipedia, “trickle-down” adalah teori yang menyatakan manfaat kebijakan ekonomi untuk masyarakat berpenghasilan atas akhirnya akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Hal itu diasumsikan dapat terjadi karena masyarakat berpenghasilan atas diperkirakan bakal memanfaatkan kebijakan ekonomi itu untuk menginvestasikan hartanya kepada perekonomian yang pada gilirannya akan menyediakan banyak lapangan pekerjaan bagi msyarakat berpenghasilan rendah.
Presiden Bank Dunia menolak pendekatan ekonomi “trickle-down” dan lebih memilih pendekatan pertumbuhan yang inklusif atau bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Kita harus mencari model pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang mengangkat masyarakat miskin daripada mempertahankan kondisi bagi mereka yang sudah berada di lapisan atas,” katanya.
Kim juga menekankan pada berbagai pemerintahan untuk mengatasi ketimpangan sosial dengan mendorong prinsip kesejahteraan bersama yang berfokus lebih pada 40 persen lapisan terbawah di negara-negara berkembang.
Ia menyadari bahwa strategi yang diterapkan tidak akan bisa sama persis di setiap negara karena beragamnya karakteristik populasi antarnegara.
Presiden Bank Dunia mencontohkan negara berpenghasilan rendah dapat fokus pada peningkatan produktivitas pertanian, sedangkan negara berpenghasilan menengah dapat fokus pada permasalahan seputar urbanisasi.
Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menekankan pentingnya pendekatan kebijakan ekonomi inklusif untuk memastikan pembangunan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Lagarde, tidak ada yang bisa mempertahankan laju pertumbuhan secara berkelanjutan jika hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
“Intinya, negara mana pun termasuk Indonesia, memerlukan kebijakan yang bersifat inklusif untuk menjamin setiap orang menikmati hasil dari pertumbuhan itu, tidak hanya oleh segelintir orang,” kata Lagarde Lagarde saat memberikan kuliah umum di Gedung MM Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (1/9).
Lagarde menilai Indonesia jangan terjebak dalam pandangan yang hanya melihat angkatan muda sebagai potensi pasar domestik yang besar saja, tetapi perlu melihat mereka sebagai sumber daya ekonomi yang mempunyai potensi memanfaatkan setiap peluang yang ada di pasar global.
Indonesia harus mendorong generasi muda ini untuk tampil memperluas sumber pertumbuhan dan diversifikasi sektor andalan dari sektor komoditas berbasis sumber daya alam ke produk bernilai tambah tinggi.
Lagarde mengakui Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan dalam hal sumber daya manusia. Pertama, satu dari lima pemuda Indonesia saat ini tidak memiliki pendidikan atau pelatihan yang memadai.
Kedua, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita di Indonesia masih rendah. Dengan jumlah 50 persen dari total penduduk Indonesia, angka partisipasi angkatan kerja wanita hanya dua pertiga dari pria dan hampir 40 persen wanita usia muda (15–24 tahun) berpendidikan rendah atau tidak bekerja.
“Jika Indonesia bisa meningkatkan partisipasi angkatan kerja wanita yang saat ini hanya 50 persen menjadi 64 persen pada tahun 2030, akan ada tambahan 20 juta pekerja terampil bagi Indonesia. Ini adalah salah satu sumber perubahan untuk pertumbuhan yang luar biasa bagi perekonomian Indonesia,” kata Lagarde.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan