Jakarta, Aktual.com — Pakar Hukum Margarito Kamis menyatakan, kasus hukum yang telah dua kali mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) akan sulit dibuka kembali.
Pernyataan Margarito tersebut ketika ditanyakan soal kasus pembelian tanah yang saat ini bergulir antara pengusaha asal Pontianak Adipurna Sakti, dengan Direktur PT Salembaran Jatimulia (SJ) Yusuf Ngadiman dan Komisaris Utama PT SJ Suryadi Wongso.
Menurut dia, sebuah kasus hukum yang sudah bolak-balik disidik dan dihentikan, mengindikasikan bahwa unsur pidana kasus tersebut memang tidak cukup bukti. “Dua kali SP3 rasa-rasanya sangat sulit diteruskan. Indikasinya jelas alat buktinya kurang kuat,” ujar Margarito ketika dihubungi, Kamis (1/10).
Berdasarkan informasi dari Bareskrim Polri, kasus pembelian tanah tersebut kembali dihentikan untuk kedua kalinya karena dinilai tidak masuk dalam ranah pidana. Hasil gelar perkara yang dilakukan Direktorat II Tipideksus pada 15 Juni 2015 menyebutkan, perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan dan penyidikan dihentikan.
Surat Ketetapan SP3 tersebut pun sudah ditandatangani Direktur Tipideksus Brigjen Victor Edison Simanjuntak pada 12 Agustus 2015. SP3 juga didasarkan pertimbangan Jampidum yang memberikan petunjuk P19 bahwa perkara tersebut merupakan lingkup hukum perdata. Hal ini, menurut Kejagung sesuai dengan pendapat ahli Profesor Andi Hamzah yang juga menjadi dasar yang menguatkan bahwa perkara tersebut masuk dalam lingkup keperdataan.
Namun, menurut Margarito, selalu saja ada kasus yang ingin dibuka kembali meskipun telah berstatus SP3. Meskipun secara hukum hal tersebut sah-sah saja, tetapi akan sangat sulit untuk membukanya kembali.
“Kalau ada bukti baru memang bisa, tetapi kalau sudah dua kali dihentikan, bukti apa lagi yang mau diberikan? Menurut saya biarkan saja, tidak perlu diteruskan,” katanya.
Sebelumnya, penasehat hukum PT SJ Yudistira mengungkapkan, kliennya masih terus ditekan Adipurna dengan cara memanfaatkan institusi kepolisian dan Kejaksaan. Adipurna juga menekan penyidik dan jaksa melalui pemberitaan-pemberitaan di media massa yang menjurus kepada fitnah.
Yudistira juga menyebut Adipurna telah menuduh penyidik Bareskrim Polri dan jaksa di Kejagung tidak profesional karena menghentikan laporannya. Padahal, sambung dia, dalam kerjasama pembelian tanah yang terletak di Desa Selebaran Jati tersebut adalah tidak benar hanya uang sebesar Rp 8,15 miliar yang disetorkan Adipurna Sukarti digunakan untuk membeli tanah seluas + 45 Ha.
Faktanya, untuk pembelian tanah tersebut alm. Salim Wongso (Orangtua Suryadi Wongso) juga menyetorkan dana yang lebih besar yaitu Rp 9,5 Miliar. Sehingga, lanjutnya, hak Adipurna Sukarti sesuai kepemilikan sahamnya hanyalah sebesar 30 persen dari seluruh luasan tanah yang dibeli bersama yaitu seluas 13,5 Ha tanah mentah karena yang bersangkutan tidak pernah menyetorkan dana pengurusan pematangan lahan dan perizinan.
Bahkan, sampai saat ini, tanah yang menjadi hak Adipurna Sukarti masih ada dan sudah berkali-kali ditawarkan untuk diserahkan namun selalu ditolak karena yang bersangkutan hanya mau uang sebesar Rp 270 miliar. Angka fantastis itu muncul dari perhitungan subyektif berdasarkan perkiraan harga tanah yang telah dimatangkan dan diurus perizinannya. Padahal, Adipurna Sukarti tidak pernah menyetorkan dana untuk pengurusan perizinan dan pematangan lahan.
“Kami menduga pihak Adipurna sengaja menyesatkan informasi terkait kongsi bisnis yang mereka lakukan kepada penyidik Mabes Polri seolah klien kami adalah pelaku penipuan sementara klien kami selalu beritikad baik untuk memberikan apa yang menjadi hak Adipurna bahkan telah menyerahkan dana sebesar Rp 5 miliar kepada Adipurna sesuai permintaannya untuk ditransferkan ke rekening istrinya,” ujar Yudistira, Rabu (30/9).
Pada 14 Mei 2012, Adipurna melaporkan Yusuf dan Suryadi ke Mabes Polri dengan tuduhan penipuan dan penggelapan sesuai Pasal 374 KUHP. Penyidik lantas menetapkan Yusuf Ngadiman dan Suryadi Wongso sebagai tersangka. Namun, dalam perkembangan penyidikan, tidak ditemukan bukti-bukti terhadap tindak pidana yang dimaksud. Sehingga dikeluarkanlah SP3 pada 24 April 2013 yang ditandatangani Brigjen Herry Prastowo berdasarkan hasil gelar perkara 20 Februari 2013.
Adipurna lantas mengajukan pra peradilan terhadap SP3 kasus tersebut ke PN Jakarta Selatan. Hakim memutuskan agar kasus ini kembali dibuka dengan sejumlah petunjuk. Kabareskrim saat itu Komjen Suhardi Alius meminta berkas dialihkan ke Direktorat lain, yaitu Direktorat Tipideksus dan mengganti penyidik yang menangani untuk obyektifitas.
Namun, penyidik juga tidak mampu membuktikan adanya tindak pidana dalam kasus tersebut. Ketika berkas dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana umum (Jampidum), jaksa menyatakan bahwa lingkup kasus tersebut adalah keperdataan bukan pidana.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu