Jakarta, Aktual.com — Puluhan warga asal Batang yang menolak pembangunan PLTU Batang merasa diintimidasi oleh pihak kepolisian dan aparat militer. Bukan hanya aparat keamanan, ancaman juga dilakukan oleh preman bayaran agar warga melepas/menjual lahan miliknya untuk pembangunan PLTU Batang.
“Intimidasi dari pihak polisi, militer dan preman banyak sekali. Memaksa warga untuk menjual lahannya. Intimidasi dan kekerasan ini sudah dirasakan oleh warga sejak pertama kali menolak pembangunan PLTU,” terang juru bicara Bidang Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, kepada Aktual.com, Selasa (6/10).
Ia khawatir kejadian yang menimpa aktivis antitambang, Salim alias Kancil, di Desa Selok Awar Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, akan terjadi juga di Batang, Jawa Tengah. Terlebih posisi para aktifis lingkungan di Indonesia sangat lemah.
“Itu bisa terjadi di Batang, karena yang terjadi di Batang sudah ada intimidasi dan kekerasan beberapa kali tapi beritanya tidak besar karena tidak ada korban jiwa. Seharusnya negara itu ada, hadir, bukan untuk berpihak kepada koorporasi tapi berpihak ke rakyat,” jelas dia.
Hindun menambahkan, seharusnya negara hadir dan berpihak kepada rakyat kecil. Bukan sebaliknya berpihak kepada koorporasi, sementara hak-hak rakyat diabaikan. Ia prihatin kekerasan dengan sangat brutal hingga berujung pada kematian terjadi pada aktifis lingkungan.
Artikel ini ditulis oleh: