Makassar, Aktual.com — Sejumlah akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tergabung dalam Jalinan Institusional Komisi Pemberantasan Korupsi menolak rencana revisi draf Undang-undang KPK oleh DPR.
“Ada upaya pelemahan yang akan dilakukan sejumlah wakil rakyat kita di Senayan untuk merubah UU KPK yang jelas akan memperkecil kekuatan lembaga anti korupsi ini,” kata perwakilan LSM Anti Corupttion Committee (ACC) Abd Kadir Wakonubun di Makassar, Jumat (9/10).
Kadir menyebutkan ada 13 pasal dalam revisi UU tersebut yang dianggap akan membatasi ruang gerak pemberantasan dan penindakan kasus korupsi. Disebutkan beberapa pasal tersebut yang membatasi ruang gerak yakni pembatasan KPK hingga 12 tahun ke depan, untuk penanganan korupsi karena dianggap lembaga Adhock (sementara), permintaan izin penyadapan izin dari pengadilan dan kejaksaan dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3.
Dia menyebutkan beberapa pasal yang dikritisi pada draf tersebut yakni pasal 5 junto pasal 73, dibentuk untuk masa waktu 12 tahun, pasal 13 perkara dibawa Rp 50 miliar diserahkan ke polisi dan kejaksaan, pasal 14 tentang penyadapan, pasal 22, 23, 24 tentang dewan eksekutif.
Kemudian pasal 39 tentang Dewan Kehormatan, pasal 42 KPK berwewnang keluarkan SP3, pasal 45 dan pasal 53 terkait penyelidikan dan penuntut harus dari kepolisian dan kejaksaan dan pasal 52 ayat 2 tentang pemberitahuan kepada polisi dan kejaksaan paling lambat 14 hari kerja terhitung tanggal dimulainya penyelidikan.
“Terkait dengan pasal tersebut maka akan menjadi ancaman nyata pemberantasan korupsi. Fraksi-fraksi di DPR yang mengusulkan revisi ini patut menjelaskan ke publik apa urgensi dari revisi itu, jangan sampai dipaksakan untuk kepentingan tertentu,” ujar dia.
Sementara Ketua Sosiologi Indonesia Prof Dwia Aries Tina Palabuhu mengatakan, modus korupsi sudah dilakukan sejak masa lampau dan terus berkembang seiring perkembangan jaman, sehingga ada upaya pelemahan KPK secara nyata.
“Bila dilihat dari sosiologis maka revisi UU itu akan menjadi bagian birokrasi hingga terjadi pemangkasan wewenang pada lembaga ini. Bagaimana pemberantasan korupsi bisa tercipta kalau lembaga kontrol itu bersifat anomali atau disfungsi,” kata Rektor Unhas ini.
Sementara Wakil Ketua Panitia Seleksi KPK Meutia Ganie Rochman juga memberikan keterangan menyatakan hasil seleksi yang panjang tentunya perlu dukungan dan komiten politisi dalam pemberantasan korupsi.
Terkait dengan sejumlah pasal yang dianggap memberatkan, kata dia mengakui sejumlah pasal yang akan dimasukkan dalam revisi draf RUU KPK memang berat.
“Ini merupakan tugas dari akademisi yang mengkritisi hal itu. Tugas kami seberapa jauh KPK sebagai triger mekanisme yang berhasil melakukan perubahan pada lembaga yang harus diperbaiki. Sebenarnya KPK sangat potensil tapi, dalam aturan itu tantangan dan wewenang semakin sedikit, kami juga pertanyakan adhoc itu alasannya apa,” sebut dia.
Hadir dalam pertemuan itu perwakilan NGO Komite Pemantau Legislatif Herman, LS ACC Abdul Kadir Wakonubun, HM Darwis Sosiolog Unhas, Ketua Sosioligi Indonesia Prof Dwia Aries, Rektor Universitas Patria Artha sekaligus pengiat anti korupsi Bastian Lubis, Aswar Hasan dari KIP, Huaimah Husain aktifis perempuan, Adnan Buyung dari LBH serta sejumlah aktivis dan akademisi lainnya.
Mereka menyatakan sikap menolak seluuruh revisi RUU KPK yang dianggap melemahkan tugas dan fungsi lembaga anti rasuah itu dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu