Jakarta, Aktual.com —  “Pemerintah Jamin Freeport” begitu judul berita utama yang diturunkan satu harian nasional edisi Jumat, 9 Oktober 2015. Judulnya ditulis dengan huruf tebal dan berukuran besar.  Isi beritanya, antara lain, Sudirman Said menjamin perpanjangan operasi PT Freeport Indonesia (FI) di sini.

Untuk itu, lanjut dia, pemerintah masih menunggu revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Pemerintah telah meyakinkan PTFI, bahwa pemerintah akan menyetujui perpanjangan operasi paska 2021, termasuk kepastian hukum dan fiskal yang terdapat pada Kontrak Karya. Kami menyambut baik kelanjutan investasi Freeport di Papua yang akan meningkatkan perekonomian lokal dan nasional,” ujar Sudirman dalam siaran pers resminya.

Sudirman Said yang dimaksudkan pada berita itu pastilah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berdasarkan konstitusi, menteri bukanlah sekadar pejabat tinggi.  Menteri adalah pembantu Presiden Republik Indonesia. Sungguh sebuah jabatan publik yang bukan cuma bergengsi tapi juga sungguh mulia dan terhormat.

Untuk jabatan mulia dan terhormat itulah rakyat melalui negara menggaji Sudirman Said. Rakyat, melalui APBN juga menggerojok dia dengan berbagai fasilitas di atas rata-rata. Rumah dinas, mobil dinas, pakaian dinas, supir dinas, pembantu dinas, perjalanan dinas, dan seabreg fasilitas lainnya yang diembel-embeli dengan dinas.

Humas Freeport?
Tapi membaca berita tersebut, saya jadi bingung. Benarkah Sudirman Said itu adalah Menteri ESDM? Kenapa pernyataan-pernyataannya justru seperti Juru Bicara (Jubir) Freeport. Silakan simak baik-baik, kalau perlu baca pelan-pelan pernyataan-pernyataannya seperti saya kutip di bagian atas tulisan ini.

Saya tidak ingin kasar, tapi pantaskah seorang menteri yang pembantu Presiden, yang dibiayai oleh rakyat, berucap bagai petugas Humas sebuah perusahaan, perusahaan asing pula?! Pertanyaan lanjutannya adalah, maaf beribu maaf, dibayar berapa Sudirman Said oleh Freeport untuk pernyataan-pernyataannya itu? Saya tidak menuduh, tapi siapa pun yang punya nalar waras pasti akan menyimpan tanya senada.

Akal sehat kita akan meyakini, bahwa jauh sebelum dia membuat ‘pernyataan Jubir’ itu, tentu Sudirman sudah mengamini keinginan Freeport yang ngebet memperpanjang eksistensinya di Indonesia.  Sekadar menyegarkan ingatan publik, perusahaan asal Amerika itu pertama kali bercokol di sini pada 1967. Kontrak karya I diteken untuk masa konsesi selama 30 tahun.

Selanjutnya diteken Kontrak Karya II yang juga berlaku 30 tahun, dengan periode produksi yang akan berakhir pada 2021. Di situ juga disebutkan kemungkinan perpanjangan 2 X 10 tahun, alias sampai 2041.

Gerangan apakah yang membuat Sudirman begitu  bernafsu memperpanjang keberadaan Freeport di Indonesia? Dia bahkan berani menjamin dengan mendahului dan menjanjikan kepada Freepoort, bahwa pemerintah bakal merevisi PP P77/2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Minerba.

Bayangkan, seorang menteri berani menggaransi perusahaan asing, bahwa akan ada revisi Peraturan Pemerintah (PP) yang secara hirarki hukum jauh di atas kewenangan menteri. Produk hukum seorang menteri ‘hanyalah’ Keputusan Menteri (Kepmen) dan Peraturan Menteri (Permen).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, semua Permen dan Kepmen sama sekali tidak masuk dalam hirarki hukum di Indonesia. UU ini hanya mengenal jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut; UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  Ketetapan MPR,   UU/Perppu, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Melanggar PP 77/2014
Asal tahu saja, kegigihan menteri yang satu ini jelas-jelas melanggar PP 77/2014 yang  sangat dia ingin ubah. Sesuai UU tersebut, tidak ada lagi perpanjangan Kontrak Karya (KK). Semua KK yang berakhir harus diubah jadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan atau Ijin Usaha Pertambangan (IUPK).

Jadi,  sekali lagi pertanyaannya; gerangan apa yang telah membuat Sudirman Said ngotot membela dan menyuarakan kepentingan Freeport? Mengapa dia bersedia menabrak UU yang seharusnya dia patuhi?

Tipikal menteri seperti Sudirman inilah yang membuat Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli prihatin sekaligus geram. Tanpa menyebut nama,  menteri yang terkenal dengan jurus ‘Rajawali Ngepret’ ini menyatakan banyak pejabat publik kita yang gampang disogok.

“Lemahnya hukum di Indonesia dan gampangnya pejabat disogok, membuat perusahaan asing, seperti Freeport, seenaknya sendiri di Indonesia. Freeport paham bahwa hukum di Indonesia lemah sehingga terus-terusan melakukan pencemaran lingkungan. Padahal, di negara asalnya, perusahaan yang melakukan pencemaran alam dikenai denda yang sangat besar hingga puluhan miliar dollar AS,” ujarnya saat berbicara dalam acara Dies Natalis Universitas Jayabaya, Jakarta, Kamis (9/10).

Kegeraman Rizal Ramli sejatinya adalah kegeraman orang-orang yang bernalar waras dan masih punya nurani. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang menteri yang seharusnya bekerja sangat keras dan cerdas untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, justru sibuk berjuang mengusung kepentingan perusahaan asing. Lebih tragis lagi, dia tidak segan-segan menelikung peraturan dan perundangan yang ada, sambil menjanjikan hal-hal yang jauh di atas kewenangannya.

PP No 77/2014 jelas-jelas menyebutkan masa pengajuan perpanjangan kontrak mineral dan batubara paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir. Namun Sudirman dengan gagah berani mengklaim, Pemerintah berniat mengubahnya menjadi paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir.

Pertanyaannya, siapakah ‘Pemerintah’ yang dimaksudkan Sudirman? Kalau Presiden dianggap sebagai representasi Pemerintah, sudah adakah pernyataan eksplisit dari Joko Widodo, bahwa dia setuju mengubah PP tersebut?

Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting, karena kabar yang beredar Jokowi justru sempat marah besar kepada Sudirman terkait soal perpanjangan kontrak perusahaan pertambangan. Penyebabnya, konon,  Sudirman berupaya ‘menyusupkan’ draft perubahan PP No 77/2014 sebagai bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II yang baru saja diumumkan. Untungnya ada yang awas dan mengendus adanya ‘penumpang gelap’, hingga draft perubahan bisa ditepis jauh-jauh dari paket Kebijakan Ekonomi Jilid II.

Kepepet, apa boleh buat
Dalam teknik negosiasi, hitungan waktu memegang peran amat penting. Mereka yang waktunya  kepepet, relatif tidak punya posisi tawar bagus. Dalam konteks Freeport, batas pengajuan masa dan negosiasi perpanjangan operasi yang dua tahun sudah sangat tepat. Perusahaan asal Amerika itu akan dihadapkan pada posisi ‘apa boleh buat’. Pilihannya, mengikuti keingingan pemerintah atau hengkang.

Dengan batas negosiasi yang hanya dua tahun, pemerintah bisa ‘memaksa’ beberapa hal strategis kepada Freeport. Misalnya, pembayaran royalti emas yang baru saja dinaikkan jadi 3,75% setelah selama puluhan tahun hanya membayar 1% dari harga jual. Misalnya, jadi 5-10%.

Asal tahu saja sampai pertengahan 2014, Freeport terus saja membayar royalti emas 1% sejak 1967. Padahal pemerintah telah membuat PP 45/2003 yang menetapkan setiap perusahaan tambang harus membayar royalti emas 3,75%.

Mengenai besaran royalti yang akan direnegosiasikan, pemerintah seharusnya tak perlu ragu. Pasalnya, pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 jelas-jelas mengamanatkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dengan waktu negosiasi yang mepet, pemerintah juga bisa memaksa Freeport  dan perusahaan asing lainnya harus ramah lingkungan, melakukan transfer teknologi, secara bertahap melakukan divestasi, dan lainnya. Perusahaan-perusahaan asing itu akan dihadapkan pada pilihan, ikut kemauan pemerintah atau kontrak berakhir, dan… pergi!

Sesuai ketentuan yang ada, begitu kontrak tidak diperpanjang, semua perusahaan asing wajib menyerahkan semua asetnya yang ada di sini. Ibarat kata,  mereka harus angkat kaki dengan cuma menjinjing koper. Itu saja!

Tulis ulang sejarah
Kombinasi mepetnya waktu dan teknik negosiasi seperti inilah yang disebut Rizal Ramli  sebagai momentum untuk menyusun kembali klausul-klausul kontrak dengan perusahaan asing.

Lebih dari itu, kinilah saatnya menulis ulang sejarah Indonesia. Selama puluhan tahun bangsa Indonesia telah kehilangan tiga kesempatan emas yang Allah anugrahkan. Tiga kesempatan emas itu adalah, anugrah hutan pada 1960-an, minyak tahun 1970-an, dan mineral pada 1980-an. Sayang sekali semuanya berlalu dan hanya dinikmati segelintir kelompok saja. Sebagian besar rakyat kita sama sekali tidak menikmati, karena tidak menyiapkan dan membangun industri hilir (downstream industry) untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar.

Kini Allah Yang Maha Kuasa memberi kesempatan keempat berupa temuan ladang-ladang gas baru dengan cadangan hingga 70 tahun. Selain itu, deposit tambang mineral dan batu bara kita masih ada untuk sekitar 30 tahun ke depan.

“Kita harus pikirkan strateginya agar benar-benar bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak boleh lagi terjadi missing opportunity seperti masa lalu. Inilah saatnya kita menulis ulang sejarah untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa dan rakyat sendiri,” ujar Rizal Ramli

Tidak adil? O, sangat adil. Jangan lupa, semua biaya, investasi, dan pengeluaran perusahaan-perusahaan asing sudah dibayar pemerintah melalui apa yang disebut dengan cost recovery. Jadi pada hakekatnya, selama beroperasi di sini mereka cuma numpang pinjam fasilitas. Semuanya milik pemerintah, milik rakyat Indonesia.

Takut investor lari? Ah, itu cuma ilusi yang terus-menerus dipompakan orang asing dan para komparadornya di sini. Buktinya, sejumlah negara sukses ‘memaksa’ perusahaan tambang asing yang beroperasi di sana. Venezuela, Norwegia,  dan Bolivia, misalnya. Mereka sudah melakukannya sejak beberapa tahun lalu dan terbukti tidak membuat negara ini ditinggalkan para investor asing sebagaimana dikhawatirkan sebelumnya. Padahal negara-negara itu tidak punya pasal 33 UUD 1945, lho.

Bahkan, yang terbaru di Venezuela, perusahaan asing yang sudah telanjur berbisnis tambang emas di sana tetap bisa melanjutkan bisnis mereka. Syaratnya, perusahaan asing itu kini diwajibkan untuk bermitra dengan negara.

Kembali  kepada Sudirman Said, saya ingin sedikit mengingatkan dan memberi nasehat. Anda adalah menteri dari sebuah negara berdaulat yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cobalah anda  bekerja untuk kepentingan NKRI. Bertindaklah sebagai menteri, bukan humas perusahaan asing. Itu saja!

Ditulis oleh: Engkus Munarman,
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka