Hari Selasa, 10 Oktober 2015, adalah tepat setahun pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla berjalan. Ada berbagai hal yang patut diulas dari pemerintahan Jokowi-JK, baik yang positif maupun negatif. Sejumlah survey menunjukkan kepuasan publik yang merosot terhadap kinerja pemerintah.
Ini hal yang lumrah, karena begitu tingginya ekspektasi publik di awal terpilihnya Jokowi-JK sebagai pasangan Presiden dan Wapres. Antara harapan yang membubung tinggi dan realita di lapangan memang tidak selalu sejalan. Hal ini karena harapan selalu bersifat ideal, sedangkan mewujudkan sesuatu yang ideal di tengah situasi yang jauh dari ideal memang tidak mudah.
Di Denpasar, Bali, sejumlah mahasiswa memajang tulisan dalam unjuk rasa menyikapi setahun kepemimpinan Jokowi-JK, di Denpasar. Puluhan mahasiswa Bali mengkritisi program-program pemerintah yang disebut Nawacita, yang dinilai mereka masih banyak yang belum terealisasi dalam setahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Pemerintah Jokowi-JK dalam beberapa hal berusaha melakukan langkah-langkah perubahan yang mendasar.Namun perubahan yang mendasar akan membutuhkan waktu penyesuaian, seperti perokok yang mencoba berhenti merokok. Butuh proses. Proses ini tidak selalu bisa cepat, melainkan bertahap. Hal ini bisa menimbulkan ketidaksabaran karena dalam proses waktu itu suasananya tidak nyaman dan tidak menyenangkan.
Hasilnya juga tidak cepat bisa dirasakan. Mengubah ekonomi yang pertumbuhannya mengandalkan konsumsi ke ekonomi yang pertumbuhannya mengandalkan produksi, misalnya, adalah langkah perubahan yang mendasar tapi hasilnya tidak akan dirasakan dalam waktu satu tahun.
Meski memberi apresiasi pada langkah-langkah mendasar yang dilakukan pemerintah Jokowi-JK, kita juga sepatutnya melancarkan kritik ke manajemen pemerintahan yang terkesan kurang padu dan kurang kompak. Bagaimana bisa dikatakan padu dan kompak, jika ucapan menteri A tidak nyambung dengan ucapan menteri B, padahal mereka berada dalam kabinet yang sama, di bawah Presiden yang sama.
Atau, ada arahan Presiden yang implementasinya di lapangan bukan saja tidak sinkron, tetapi semangatnya seolah-olah justru bertentangan dengan semangat yang mendasari arahan Presiden tersebut. Hal-hal semacam ini harus segera dibenahi pada tahun kedua jalannya pemerintahan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dalam acara “Rembug Nasional Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK” di Jakarta, Selasa, menunjukkan contoh itu. Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menjelaskan, keberanian Presiden Jokowi terasa dalam komitmennya untuk memanfaatkan sumber daya alam untuk kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia.
Hal itu, kata Rizal, berkaitan dengan negosiasi kontrak Freeport yang kini tengah digodok pemerintah. Meski, menurutnya, negosiasi kontrak seharusnya dilakukan paling lambat dua tahun sebelum kontrak berakhir yakni pada 2019.
“Presiden jelas garisnya, menterinya saja yang tidak menangkap (maksudnya). Dia (Presiden) betul-betul ingin menggunakan sumber daya alam ini untuk kemajuan bangsa dan rakyat sesuai UUD. Pak Jokowi juga jelaskan, yaitu tidak ada perpanjangan kontrak sampai sebelum dua tahun kontrak berakhir dan untuk rakyat sebesar-besarnya,” ujar Rizal. Menurut Rizal, hal itu berbeda dengan pemimpin sebelumnya yang gagal melindungi Blok Cepu untuk Indonesia.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, di bawah pemerintahan Jokowi-JK, rakyat tampaknya harus siap berpahit-pahit dahulu, bermanis-manis kemudian. Jika semua program Nawacita bisa betul-betul direalisasikan, InsyaAllah, rakyat bisa menikmati manisnya pembangunan kemudian.
Tetapi Jokowi-JK harus betul-betul bisa memanfaatkan momentum, mumpung masih ada rasa kepercayaan di pihak rakyat terhadap Jokowi-JK. Sesedikit apapun rasa kepercayaan itu, jangan disia-siakan. ***
Artikel ini ditulis oleh: