Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio (kedua kanan) bersama Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Hamdi Hassyarbaini, serta Direktur Pengembangan BEI, Hosea Nicky Hogan serta Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat(kanan) seusai memberikan penjelasan pada jumpa pers di Galeri BEI, Jakarta, Kamis (27/8). Bursa Efek Indonesia (BEI) menemukan ada 14.000 transaksi kena batas bawah auto rejection. Enam Anggota Bursa (AB) dicurigai lakukan short selling. Tito Sulistio mengaku tak habis pikir ada sejumlah perusahaan raksasa yang mengeruk begitu banyak sumber daya alam di Indonesia tapi mencatatkan sahamnya di luar negeri. AKTUAL/EKO S HILMAN

Jakarta, Aktual.com — Perseroan Terbatas Bursa Efek Indonesia (BEI) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dapat membuatkan peraturan khusus mengenai privatisasi BUMN agar dapat menjaga perkembangan perusahaan dan industri sehingga turut berperan serta menjaga perekonomian nasional.

“Bursa Efek Indonesia (BEI) berharap dari Komisi XI DPR RI dapat memangkas pelaksanaan penawaran umum perdana saham (IPO). Jika dimungkinkan, dibuat payung hukum untuk privatisasi yang terpisah,” kata Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis (15/10).

Menurut dia, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara tidak langsung menghambat perusahaan pelat merah melakukan penerbitan saham. Dalam peraturan yang berlaku, setidaknya terdapat 25 tahap sebelum BUMN dapat melakukan permohonan pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia.

“Dengan BUMN melakukan privatisasi, kinerjanya dapat makin membaik. Fakta memperlihatkan bahwa BUMN yang telah diprivatisasi, baik secara langsung melalui pasar modal maupun cara lainnya mempunyai hasil kerja yang relatif lebih baik dibandingkan yang masih penuh dikelola dalam birokrasi,” ucapnya.

Tito Sulistio menyebutkan salah satu BUMN yang telah tercatat di BEI, yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI), saat melakukan IPO pada tahun 2003 nilai kapitalisasi BRI hanya senilai Rp10,19 triliun, sementara pada tahun 2015 sudah mencapai Rp236,90 triliun, atau meningkat sebesar 2.224,54 persen.

Selain itu, lanjut dia, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) juga meningkat sebesar 1.375,12 persen menjadi 282,24 triliun pada tahun 2015 dibandingkan ketika melaksanakan IPO sebesar Rp19,13 triliun pada tahun 1995.

“Privatisasi BUMN terbukti lebih baik, lebih transparan, dan nilai kapitalisasinya melonjak sampai berkali-kali lipat. Mekanisme ‘go public’ merupakan pilihan aman dan transparan dibanding suatu program privatisasi lainnya,” ucapnya.

Ia menambahkan bahwa BUMN juga memiliki peran sangat penting sebagai penggerak dan katalisator pasar modal lokal di Indonesia. Jadi, karena BUMN “go public”, pasar modal domestik menjadi baik.

Privatisasi merupakan penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.

Tito juga mengatakan bahwa pihaknya akan membuat divisi khusus untuk menangani privatisasi sehingga memudahkan BUMN untuk meraih pendanaan dari pasar modal dalam rangka ekspansi, salah satunya mendukung program pembangunan infrastruktur.

“Jumlah BUMN di Indonesia sebanyak 119 perusahaan. Namun, saat ini baru sebanyak 21 BUMN yang tercatat dari total perusahaan di BEI yang sebanyak 517 emiten,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka