Jakarta, Aktual.com — Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku membutuhkan proses panjang untuk membuktikan seseorang maupun lembaga yang melakukan “insider trading” atau perdagangan yang memanfaatkan informasi non publik di pasar modal.
“Namanya ‘insider’ kan berarti dia dapat bocoran informasi lebih dulu dari publik. Dimanapun pembuktian ‘insider trading’ itu tidak bisa cepat karena harus punya kemampuan dan wewenang, misalnya untuk menyadap telepon, butuh proses panjang,” ujar Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI Hamdi Hassyarbaini di Jakarta, Kamis (15/10).
Hamdi mengemukakan bahwa salah satu parameter untuk membuktikan “insider tading” yakni orang yang terduga melakukan “insider trading” memiliki akun di perusahaan sekuritas dan ada orang yang terafiliasi. Kemudian, harus ada bukti kalau terduga memperoleh informasi lebih dulu sebelum diumumkan ke publik.
Terkait kasus “insider trading” pada saham Bank Danamon Tbk yang dilakukan oleh mantan Country Head UBS Group AG Rajiv Louis pada 2012 lalu, Hamdi Hassyarbaini mengatakan bahwa dirinya sudah meminta bidang pengawasan BEI untuk merunut ketika transaksi itu dilakukan.
Ia menyampaikan bahwa Rajiv Louis membeli saham BDMN pada 30 Maret 2012 lalu melalui akun istrinya di Singapura setelah mendapat informasi non publik atas rencana akuisisi saham Danamon oleh DBS Group Holdings Ltd.
“Rajiv Louis memberi informasi ke istrinya. Karena transaksi dilakukan di Singapura, pasti dia membuka rekening di salah satu broker Singapura, dan kemudian broker Singapura ini yang melakukan pemesanan ke broker Indonesia. Nah, broker Indonesia hanya tahu ada transaksi dari broker Singapura. Kita tidak tahu dibaliknya siapa. Nah, itu tidak mudah untuk mengetahui siapa saja yang punya informasinya,” ujarnya.
Direktur Utama BEI Tito Sulistio menambahkan bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil UBS Indonesia untuk menyelidiki kasus “insider trading” dalam transaksi akuisisi saham Bank Danamon Indonesia Tbk oleh DBS Group Holdings Ltd.
“Memeriksanya memang agak sulit karena transaksinya tidak di UBS Indonesia. Kami akan cari tahu transaksinya lewat mana, akan diselidiki,” katanya.
Dalam Undang-undang No. 8/1995 tentang Pasar Modal, disebutkan orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan pembelian atau penjualan atas efek. Setiap pihak yang melanggar ketentuan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka