Jakarta, Aktual.com — Perpanjangan kontrak operasional tambang Freeport dinilai penuh dengan aroma kepentingan. Pasalnya, renegosiasi antara pemerintah dengan Freeport dilakukan secara diam-diam.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan tersembunyinya renegosiasi Freeport mengingatkan kembali bagaimana barter politik antara Presiden Soeharto dengan Amerika Serikat.
“Ini yang saya khawatirkan sejak 1967. Ketika ada peralihan kekuasaan, Amerika dukung pak Harto ke banyak tambang salah satu Freeport. Ada dukungan politik yang dibarter dengan perpanjangan kontrak Freeport,” kata Marwan, dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta, Sabtu (17/10).
Terlebih, sambung Marwan, para pengusaha sudah mengeluarkan pernyataan mengenai renegosiasi kontrak Freeport. Dia berpendapat, pernyataan pengusaha itu justru mengindikasikan adanya kepentingan politik.
“Bahkan, kalau ada statement pengusaha, (yang bilang) kami sangat senang jaminan hukum dan fiskal. Sangat jelas ini mengindikasikan sesuatu. Memang belum ada perpanjang tanda tangan tapi artinya mereka sudah mendapatkan sesuatu. Berarti ada barter yang perlu dikoreksi,” terangnya.
Dia pun menghimbau seluruh pihak untuk terus memantau pergerakan pemerintah. Bukan tidak mungkin, jika renegosiasi itu tidak dipantau, akan kembali merugikan negara. Apalagi berdasarkan catatannya sejak 2004-2008 Freeport mendapatkan keuntungan 8 miliar Dollar AS, sementara Indonesia hanya mendapatkan dari pajak dan royalti itu hanya 4 miliar Dollar AS.
“Belum lagi kalau bicara biaya operasi yang dikeluarkan Freeport. Kita harusnya memperjuangkan supaya dalam hal bagi hasil tidak seperti sekarang. Supaya bisa jalankan urusan itu saham pemerintah harus ditingkatkan. Suatu bencana dengan Indonesia kalau ada dukungan politik dan negosiasi dilakukan diam-diam,” tegasnya.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby