Petugas dari satuan Brimobda DIY Satgas Amole III 2015 BKO PT Freeport Indonesia berjaga di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). Satgas Amole III bertugas guna menjaga wiayah pertambangan Freeport dari berbagai gangguan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz/15

Jakarta, Aktual.com —  Beberapa waktu lalu, melalui keterangan tertulis yang dikirim kepada media, Menteri ESDM, Sudirman Said menyebutkan, bahwa pemerintah telah menyepakati kelanjutan operasi Freeport di kompleks pertambangan Grasberg, Mimika, Papua, pasca 2021. Namun, hal tersebut dibantah langsung oleh Presiden Jokowi seraya menegaskan saat ini, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah perpanjangan kontrak karya dengan Freeport.

Melihat semakin gaduhnya situasi nasional terkait polemik perpanjangan kontrak Freeport, Energy Watch Indonesia menilai pemerintah sebaiknya lebih dulu mencermati titik kritis dalam pelaksanaan kontrak Freeport.

“Titik kritis pelaksanaan kontrak Freeport melingkupi perusakan Lingkungan, isu pelanggaran HAM, Peningkatan Royalti, Perobahan Kontrak Karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan, Percepatan pembangunan Smelter, adanya persepsi dari Freeport tidak wajib tunduk pada UU Minerba No.4, Divestasi saham, Control dan management,” ujar direktur eksekutif Energy Watch Indonesia kepada Aktual, Minggu (18/10).

Menurutnya, point point tersebut menjadi titik kritis atas polemik perpanjangan kontrak Freeport, yang mana sesungguhnya sesuai UU tahun 2021 tidak ada lagi perpanjangan kontrak terhadap Freeport akan tetapi adalah pemberian Ijin Usaha Pertambangan.

“Kontrak karya dan Ijin Usaha Pertambangan adalah dua hal berbeda, karena semangat IUP lebih berpihak kepada negara,” tambahnya.

EWI mendesak Pemerintah agar segera melakukan negosiasi ulang kepada Freeport dengan meminta beberapa hal seperti Program perbaikan lingkungan, perhatian khusus kepada masyarakat adat, meningkatkan royalti minimal 6%, melaksanakan pembangunan smelter selambat-lambatnya awal tahun 2016, menambah jumlah management jajaran direksi dan komisaris dari Indonesia, Divestasi saham hingga 51%, dan auditor adalah BPK.

“Ini jalan tengah untuk kebaikan bersama antara Freeport dan Indonesia. Namun jika Freeport tidak menyetujui syarat tersebut, Freeport harus angkat kaki dari Indonesia,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka