Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Para jurnalis pribumi yang paling terkemuka pada masa itu berasal dari para pelajar atau mantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/STOVIA. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abdul Rivai (lahir tahun 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Melanjutkan tradisi perjuangan kaum guru, para juranalis-inteligensia ini juga memancangkan tongkat kebangkitan lewat bahasa dan konstruksi tanda.

Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia,  Abdul Rivai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”

Tulisan seorang lulusan sekolah Dokter-Jawa ini, mewakili kegetiran anak-anak terdidik dari kalangan priyayi rendahan dan non-bangsawan. Karena administrasi pribumi, sebagai lambang kehormatan, diperuntukkan bagi anak-anak priyayi tinggi, anak-anak dari kalangan ini cenderung memilih sekolah menak yang disebut hoofdenschool (awal abad 20 menjadi OSVIA). Sementara itu, perluasan birokrasi dan kapitalisme memerlukan tenaga-tenaga pertukangan. Sekolah Dokter-Jawa (awal abad 20 menjadi STOVIA) dan sekolah guru (Kweekschool) semula dirancang untuk memenuhi keperluan itu.

Diskriminasi tidak sendirinya lenyap dengan menyandang ijazah. Baik dalam standar gaji maupun status sosial, lulusan STOVIA lebih rendah ketimbang lulusan OSVIA. Situasi inilah yang mendorong kaum terdidik dari keturunan priyayi rendahan dan non-bangsawan berjuang memancangkan ‘pikiran’ sebagai tanda baru kehormatan sosial.

Dalam usaha itu, anak-anak STOVIA bermotivasi tinggi untuk memperjuangkan gerakan-gerakan kebangkitan.  Salah satu yang terpenting adalah pendirian perkumpulan Budi Utomo (BU) pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priyayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda. Meskipun terbukti, pengaruh priyayi mapan masih terlalu kuat, membuat BU segera dibajak oleh kalangan priyayi konservatif.

Betapapun, BU menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis ‘bangsawan pikiran’. Sejak itu, ‘pikiran’ menjadi peta-jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, dengan dibukanya sekolah ala Eropa bagi penduduk bumiputera, seperti HIS (sekolah dasar), MULO (sekolah menengah pertama), dan AMS (sekolah menengah atas), orang-orang terdidik dari keturunan priyayi-rendahan dan non-bangsawan makin besar jumlahnya. Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik begerak lebih maju dengan mencampakkan kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): “Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni ‘bangsawan pikiran’. Namun jika bangsawan pikiran ini hanyalah kelanjutan dari bangsawan usul, maka perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir.”

Maka tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan bekhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama ‘kaum terpelajar’ atau ‘pemuda-pelajar’, atau seringkali diungkapan dalam bahawa Belanda, ‘jong’. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan.

Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi.  Sukarno hanyalah anak priyayi-rendahan yang mujur bisa masuk ELS karena pertolongan seorang guru Belanda; Hatta adalah anak ulama-pedagang, yang beruntung bisa diterima di ELS karena kekayaan keluarganya; Sjahrir berlatar sedikit lebih baik, ayahnya seorang jaksa pribumi sehingga diterima di ELS; Keluarga Natsir lebih rendahan lagi, ayahnya hanyalah seorang jurutulis kontelir, yang membuatnya hanya diterima di HIS. Alhasil, mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda; tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.

Kebetulan juga, generasi ini merupakan buah pertama dari gelombang ‘pem-belanda-an (Dutchification) yang intens serta politik asosiasi  yang dicanangkan oleh Snouck Hurgronje. Memasuki abad ke-20, bahasa dan budaya Belanda makin penting menyusul perluasan operasi perusahaan-perusahaan swasta Eropa, perluasan birokrasi dan institusi pendidikan, kemudahan hubungan antara Eropa dan Nusantara akibat dibukanya Terusan Suez (1869) serta munculnya arma-armada pelayaran swasta. Sejak itu, bahasa Belanda menggantikan bahasa lokal dalam pergaulan formal. Saat yang sama, politik asosiasi juga memperluas terpaan Barat terhadap kaum terdidik bumiputera.

(Bersambung…)