Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Kedua hal ini memperluas akses kaum terdidik bumiputera terhadap pengajaran bahasa Belanda dan Eropa lainnya. Dengan bahasa sebagai kunci pembuka kepustakaan dunia, genenasi Sukarno mampu berkenalan langsung dengan pemikiran dan wacana semasa tanpa perantara.

Akses kepustakaan kaum inteligensia ini diperkuat oleh kebijakan pemerintahan kolonial untuk mendirikan sebuah ‘rumah penerbitan buku’, yang memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan kepenulisan dalam sejarah Hindia di kemudian hari. Pada tahun 1908, pemerintah membentuk sebuah komisi untuk memberikan saran bagi penyediaan bahan bacaan bagi kaum pribumi dan sekolah-sekolah pribumi.

Apapun agenda tersembunyi dari komisi tersebut, yang jelas keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan-bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu, dalam pandangan para kritikus sastra, A Teeuw, lahirnya novel modern Indonesia dan popularitasnya sangat dimungkinkan oleh keberadaan dari Balai Pustaka. Bahkan kebanyakan pujangga nasional dari dekade selanjutnya merupakan mantan pegawai, entah untuk jangka waktu lama atau sebentar, dari BP. Atau paling tidak beberapa karya mereka pernah diterbitkan BP. Dengan demikian, makna penting dari rumah penerbitan (buku) yang disponsori pemerintah ini pada kurun waktu itu adalah dalam fungsinya sebagai medan permagangan bagi para anggota inteligensia untuk meniru aktivitas kesusastraan Barat. Proses peniruan ini membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal ‘Respublica litteraria’ (Republik Para Pujangga).

Sementara kesusastraan BP masih bersifat apolitis, sebuah genre kesusastraan politik menemukan medium ekspresinya dalam koran-koran dan majalah-majalah vernakular dalam bentuk literatur serial. Contoh-contoh dari genre novel politik yang diterbitkan dalam dekade tersebut ialah Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, dan Hikajat Kadiroen karya Semaun. Sementara karya yang pertama diterbitkan dalam koran Sinar Hindia Semarang pada tahun 1918, karya yang kedua diterbitkan oleh koran yang sama pada tahun 1920. Dimuatnya dua cerita bersambung dalam koran tersebut mencerminkan peran penting kesusateraan dan medianya dalam menyuarakan bahasa nasionalisme. Imajinasi kesasteraan tentang kemerdekaan bahkan mendahului dan memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan kemerdekaan yang menjadi agenda gerakan politik di kemudian hari.

Demikianlah, perjuangan kebangkitan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Seperti itu jugalah generasi Sukarno. Praksis wacana lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesasteraan menjadi tahap awal dari perjuangan mereka. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik . Pada 1926, Sukarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor malajah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusasteraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan.

Yang pertama mereka ciptakan adalah nama. Tanda pengenal diri, yang memberi kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakannya. Jika Belanda menandai tanah-air ini sebagai Hindia-Belanda, yang diperjuangkan generasi Sukarno adalah memberi nama baru kepada tumpah darahnya. Semula ditemukan sebuah istilah dalam bahasa Belanda ‘Indonesische’, yang merujuk pada suatu geo-kultur di kawasan Austronesia yang berciri kepulauan dan bercorak kultur India. Maka pada 1922, perkumpulan pelajar Indonesia di Negeri Belanda, Indische Vereeniging, berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Pada 1924, Sutomo mendirikan kelompok studi pertama pemuda-pelajar bumiputera dengan nama ‘Indonesische Studieclub’.

Mencipta nama pada akhirnya mengisyaratkan bahasa. Jika yang diperlukan adalah sebuah nama yang otentik, maka bahasa yang digunakan mesti berbeda dengan bahasa kolonial. Maka nama Indonesische segera diubah menjadi Indonesia. Akhir 1924, Indonesische Vereeniging berganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Lantas, perhimpunan-perhimpunan sosial politik di tanah air mulai mengimbuhkan kata ‘Indonesia’ di balik namanya. Segera saja Indonesia pun menjadi nama bangsa, sedang bahasa Indonesia menjadi identitas-kebangsaan. Monumennya dipancangkan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dari sinilah kemerdekaan Indonesia menemukan jangkarnya.

(Bersambung…)