Jakarta, Aktual.com — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi menilai pembangunan kilang gas alam cair terapung atau FLNG di Blok Masela merupakan opsi terbaik bagi pembangunan Maluku dan sekitarnya.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi di Jakarta, Rabu (21/10), mengatakan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan Gubernur Maluku beberapa waktu lalu.

“Kami sudah berkunjung ke lokasi, yakni Saumlaki dan Kepulauan Aru, serta bertemu dengan Gubernur Maluku. Kesimpulannya, kalau mau ‘regional development’, opsinya FLNG (floating LNG),” katanya.

Menurut dia, dengan skema kilang gas alam cair terapung (FLNG), pengembangan Pulau Aru dan wilayah lainnya sebagai kawasan industri bisa dengan memakai kapal LNG.

Dengan demikian, FLNG juga sejalan dengan program pembangunan Indonesia sebagai negara maritim.

“Skema FLNG akan mendorong pembangunan galangan kapal di Indonesia sehingga mendukung negara maritim,” ujarnya.

Galangan tersebut bisa dikembangkan untuk membangun berbagai jenis kapal, seperti FSO, FPSO, FSRU, atau FLNG, dengan kapasitas yang lebih kecil.

“Industri migas membutuhkan banyak kapal, alangkah baiknya kapal dibuat di galangan kapal Indonesia,” ujarnya.

Amien mengatakan bahwa opsi FLNG juga memungkinkan pengembangan Blok Masela bisa lebih cepat sehingga tidak kehilangan momentum pasar.

Menurut dia, saat ini, sejumlah ladang gas di Australia yang berdekatan dengan Masela tengah dikembangkan.

“Kalau Masela terus tertunda, akan kalah ‘market’ dengan kompetitor dari Australia itu. Jadi, kami berpendapat Masela harus segera dikembangkan, tidak bisa ditunda-tunda,” ujarnya.

Dari sisi biaya, lanjut dia, FLNG juga lebih murah, yakni 14,8 miliar dolar AS, sementara darat atau pipa mencapai 19,3 miliar dolar.

“Dengan demikian, dari berbagai sisi seperti ‘engineering’, harga, dan lainnya, opsi terbaik pengembangan Masela adalah FLNG,” katanya.

Kementerian ESDM akan memakai konsultan internasional untuk mengkaji opsi terbaik pengembangan Masela apakah FLNG atau darat.

Kalau memakai skema darat, kata dia, opsi yang memungkinkan adalah membangun pipa dari Masela ke Saumlaki sejauh 200 km atau Masela ke Pulau Aru sepanjang 600 km.

Namun, apabila opsi Masela-Saumlaki sepanjang 200 km yang diambil, menurut dia, memerlukan pipa dengan teknologi tinggi dan berbiaya mahal karena mesti melewati palung yang cukup dalam hingga 1.500 meter dengan lebar 150 km.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyinggung soal ladang gas Blok Masela dalam rapat kerjanya bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

Rizal menyampaikan keinginannya agar pembangunan ladang gas abadi ini menggunakan skema onshore agar dapat  bermanfaat bagi rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Maluku.

“Ada usulan pembangunan kilang dengan fasilitas pengolahan LNG terapung (floating LNG/FLNG), itu tidak tepat. Karena itu sama saja membangun tiga kali panjang Monas. Tentu tidak tepat kalau dibilang biaya lebih murah,” kata Rizal di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (13/10).

Ia menjelaskan, Australia saja masih melakukan ujicoba terhadap LNG terapung tersebut. Bahkan belum ada penelitian yang menyebutkan LNG terapung bisa berhasil dan bisa dibangun dengan biaya yang murah.

“Kita jangan mau jadi kelinci percobaan lagi, pejabat kita terima info mentah-mentah tanpa melakukan evaluasi,” ujarnya.

Untuk itu, menurut Rizal, yang paling tepat adalah menggunakan skema pipanisasi (onshore). Terkait adanya palung yang terlalu dalam sehingga disebut menghambat skema onshore, Rizal mengaku telah mendapatkan penelitian dari ahli geologi, membuktikan jika palung tersebut tidaklah dalam dan tidak akan menghambat proses pipanisasi.

“Kalau kita bikin di darat (pipanisasi) biayanya pasti lebih murah dari pada terapung,” tambahnya.

Dirinya mengaku tidak akan membiarkan peluang memperbaiki nasib rakyat Maluku terlewatkan begitu saja. Pasalnya, dengan onshore, Rizal optimis akan memberikan multiplier effect yang sangat besar bagi Maluku.

“Kalau dibikin terapung, diambil gasnya, dibawa ke luar rakyatnya enggak dapat apa-apa, peluang kesempatan emas nasib tiga juta orang Maluku enggak bisa diperbaiki, kalau dikelola lebih cerdas belajar dari masa lalu, diambil diekspor, dibiayai cost recovery. Terserah pabrik mau di laut dan di darat dibiayai dari negara,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan