Hakim Mahkamah Konstitusi saat menggelar uji materi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/9/2015). Para keluarga korban kerusuhan 1998 Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II menjadi pemohon pengujian pasal tersebut. Menurut kuasa hukum pemohon, tidak jelasnya penafsiran Pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.

Jakarta, Aktual.com — Sidang lanjutan gugatan uji materi UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Polri) dan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) kembali digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (22/10).

Dalam persidangan kali ini, Polri selaku termohon menghadirkan saksi seorang penyandang difabel untuk memberikan keterangan materi terkait kewenangan Polri menerbitkan SIM, STNK dan BPKB.

Kastanya, salah seorang penyandang disabilitas dalam keterangannya mengapresiasi Polri dalam melayani permohonan Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi pengemudi yang memiliki keterbatasan.

“Secara teknis tidak dipersulit dan saya puas dengan pelayanan penerbitan SIM,” kata Kastanya di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis (22/10).

Kastanya menuturkan mendapatkan SIM Golongan D sejak 1990 yang diterbitkan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Ia juga mengaku tidak pernah mengalami kecelakaan lalu lintas sejak mengantongi SIM D.

Pria asal Jakarta itu puas terhadap pelayanan permohonan SIM yang dilakukan Polri karena tidak mendapatkan kesulitan.

Pada sidang lanjutan uji materi kewenangan permohonan SIM dan kelengkapan dokumen kendaraan itu, Polri juga menghadirkan guru besar hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Gde Pantja Astawa.

Gde mengungkapkan identifikasi kendaraan bermotor dan menerbitkan SIM merupakan bentuk pelaksanaan dari fungsi kepolisian.

Pengajar bergelar profesor itu menyatakan kewenangan Polri itu sesuai dengan Pasal 15 UU LAJ dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Sebelumnya, seorang warga negara bernama Alissa Q Munawaroh Rahman dan Hari Kurniawan mempermasalahkan kewenangan kepolisian menerbitkan SIM, STNK dan BPKB dengan mengajukan permohonan uji materi ke MK.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Malang Corruption Watch, dan Pemuda Muhammadiyah turut mengajukan uji materi UU tentang lalu lintas tersebut ke MK.

Beberapa butir pasal yang diujimaterikan yakni Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 UU LLAJ.

Para pemohon menganggap kebijakan Polri menerbitkan SIM, STNK dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.

Pemohon juga menilai kepolisian tidak berwenang mengurus administrasi penerbitan SIM, STNK dan BPKB namun hanya sebatas mengamankan dan menertibkan masyarakat.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan