Jakarta, Aktual.com — Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai rencana pemerintah untuk memberikan “tax amnesty” atau pengampunan pajak harus jelas sasarannya.
“Harus diperjelas siapa yang berhak mendapatkan pengampunan itu dan harus dalam kondisi seperti apa,” kata Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Jika tidak ada kejelasan sasarannya, menurut Enny, akan berpotensi digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk “memutihkan” kejahatan mereka yang bukan tidak mungkin merugikan negara.
Jika memang akan melakukan “tax amnesty” untuk menambah pemasukan negara nantinya, lanjut Enny, ada tahapan yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu reformasi bidang perpajakan termasuk aparaturnya dan harus ada perbaikan data-data wajib pajak.
“Jika sekarang data pajak saja tidak jelas mau bagaimana ‘tax amnesty’, minimal jika sudah punya data tahu siapa yang akan diberikan ‘tax amnesty’. Jika tidak, nantinya semua orang yang ngemplang pajak dapat amnesti, dia ‘money laundry’ kok ada amnesti terlalu memberi kesempatan itu namanya,” kata dia.
Secara terpisah, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno juga mengungkapkan hal yang senada. Dia mengatakan “tax amnesty” ini akan efektif jika ditunjang dengan administasi perpajakan yang baik.
“Memang harus ada administrasi perpajakan yang baik dalam hal ini, lalu untuk pihak yang dicurigai merugikan negara, sudah ada pengecualian tidak akan mendapat amnesti tersebut,” katanya.
Dari informasi yang dihimpun Antara, DPR sedang menggodok RUU Pengampunan Nasional, salah satunya mengenai pengampunan pajak. Upaya tersebut menuai pro dan kontra karena justru dianggap akan memberikan pengampunan kepada para koruptor.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan beleid itu dirancang agar devisa hasil ekspor tak disimpan di luar negeri. RUU itu, menurut Kalla, bersifat pemutihan, bukan pengampunan. “Kalau koruptor pasti tak akan diampuni,” ujar Kalla.
Adanya pemutihan dilakukan karena banyak pengusaha yang menyimpan devisa hasil ekspornya di luar negeri. Para pengusaha melakukan hal tersebut untuk menghindari pajak atau biasa disebut praktik transfer pricing. Praktik itu tak bisa dicegah karena Indonesia menganut asas devisa bebas.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan