Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Suryani S.F Motik, mengkritik penetapan pemerintah terkait asumsi makro kurs Rupiah di 2016. Dia menilai pemerintah terlalu pesimis, lantaran mematok asumsi makro kurs rupiah sebesar Rp13.900 per dolar AS.
Pihak Kementerian Keuangan pun turut menanggapi kritikan tersebut. Staf Khusus Menkeu, Arif Budimanta justru mengangga penetapan asumsi tersebut sudah menyesuaikan dengan berbagai pertimbangan yang kongkrit terhadap perekonomian global.
“Memang perkembangan ekonomi AS menunjukan perbaikan, tapi belum sesuai yang diharapkan. Pertumbuhan ekonominya diharapkan tinggi, tapi ternyata masih dibawah 2 persen. Angka penyerapan tenaga kerja juga masih jauh dari yang diharapkan,” papar Arif, di Menteng, Jakarta, Sabtu (31/10).
Anak buah Bambang Brodjonegoro itu juga memandang, akan ada kecenderungan ‘tappering offk yang tidak stabil. ‘Quantitative easing’ atau pelonggaran stimulus juga diperkirakan masih berlanjut, sehingga bisa menimbulkan spekulasi di dunia investasi.
Terlebih, sambung Arif, Bank Sentral AS atau The Fed masih memberikan ancaman untuk menaikan suku bunga acuannya. Semuanya itu bisa mempengaruhi aliran dana asing yang ada di Indonesia yang kemudian mempengaruhi pergerakan Rupiah.
“Itu telihat dalam pergerakan kurs dalam satu bulan terakhir. Rupiah kita turun cepat dari Rp13.400 bisa sampai Rp13.700 per Dollar AS. Untuk kecenderungan 2016 itu kita berharap kurs bisa di bawah Rp13.900,” terangnya.
Tak hanya itu, Arif juga menilai penguatan Dollar juga akan mempengaruhi perekonomian negara lainnya. Khususnya negara yang menjadi mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok.
“Tentu memperhitungkan karena kecenderungn sekarang mata uang kan adalah komoditas. Semua proses depresiasi, karena komodoti memiliki nilai kompetisi di pasar,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby