Jakarta, Aktual.co — Dirut PT Pertamina (Persero) Dwi Sutjipto mengklaim defisit selama Januari-Februari 2015 sebanyak USD212,3 juta atau sekitar Rp2,7 triliun tidak bisa dijadikan ukuran kinerja perusahaan secara keseluruhan sepanjang 2015.
“Tidak bisa menyebutkan kerugian hanya dalam satu dua bulan. Kerugian itu lebih karena faktor harga minyak yang sedang turun sehingga mengakibatkan adanya beban persediaan (stok),” kata Dwi, di Jakarta, Rabu (8/4).
Menurut Dwi, kerugian tersebut lebih karena adanya persediaan yang merupakan stok pada Oktober 2014 yang ketika itu masih tinggi.
“Jadi ketika harga sudah stabil maka beban terhadap inventori akan otomatis hilang. Karena itu tidak bisa melihat posisi dua bulan itu menjadi kesimpulan, karena masalah harga,” timpalnya.
Seperti diketahui, Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir mengatakan Pertamina mengalami USD700 juta target yang tercecer sampai bulan Maret dengan kerugian USD212 juta hingga bulan Februari 2015. Menurutnya, pertamina akan merugi USD1 miliar (Rp13 Triliun kurs Rp13.000) hingga akhir tahun jika tidak merubah perhitungan dengan cara yang efisien.
“Ada kerugian USD212 juta. Kalau kita hitung target keuntungan Pertamina per bulan Maret itu USD500 juta. Artinya ada target yang terececer USD700 juta,” ujar Ketua Komisi VI Hafisz Tohir di Jakarta, Selasa (7/4).
Menurutnya, Pertamina telah merugi USD712 juta berdasarkan perhitungan kerugian dari laba bersih USD210 juta ditambah dengan target yang tidak tercapai USD502 juta.
“Jadi minus USD210 juta dan positif USD502 juta itu nggak tercapai selisih nya itu, yang gap nya itu USD712 juta. Ini akan cenderung terus sampai akhir tahun di medium semester kedua di kuartal ke-3 tahun 2015. Kalau bulan Desember dirata-rata maka bisa saja pertamina menelan kerugian hingga USD1 miliar. Dirut Pertamina harus mengubah cara pikirnya dengan cara-cara yang efisien,” ujar Hafisz di DPR, Jakarta, Selasa (7/4).
Hafisz menuturkan, sebetulnya pertamina sudah memiliki target fokus kerja 2015 dengan cara mengefisiensikan kilang-kilang yang ada kemudian mencari alternatif pembelian BBM. Memperbaiki industri hilir dan mempercepat basis industri hulu-nya. Namun, Pertamina lambat dalam pembangunan kilang-kilang baru. Jika, terealisasi maka Indonesia tidak perlu lagi impor minyak karena sudah mampu memproduksi sendiri.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka













