Kapal asing yang tertangkap dan terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia, milik nelayan Vietnam, diledakkan di laut Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (31/10). Sebanyak 6 kapal diledakkan oleh petugas Direktorat Jendral (Ditjen) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam dibantu TNI AL, Polri dan Kejaksaan Agung. ANTARA FOTO/M N Kanwa/ama/15

Jakarta, Aktual.com — Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS) menilai Perpres 115/2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 19 Oktober 2015 bertentangan dengan Undang Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, serta tidak sesuai dengan KUHAP.

“Perpres No.115 Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal sebaiknya dibatalkan dan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk fokus kepada memperkuat Bakamla sebagai satu-satunya instutsi yang berwenang dan bertanggung jawab di laut dengan mengubah nama menjadi Coast Guard sesuai Perpres No. 178 Tahun 2014,” ujar Presiden IIMS Connie Rahakundini Bakrie  dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (3/11).

Menurutnya, pembentukan organisasi, pelaporan dan masa tugas yang menempatkan Menteri Kelautan sebagai Komandan Satuan Tugas dan Wakil Kepala Staf TNI AL sebagai kepala pelaksana harian dengan kewewenangan memegang Komando dan Pengendalian terhadap kapal, pesawat udara, serta teknologi lainnya dari TNI Angkatan Laut, adalah tidak sejalan dengan Pasal 18 Ayat (2) UU No. 3/2002 yang menyatakan Panglima TNI sebagai penyelenggara perencanaan strategi dan operasi militer, pembinaan profesi dan kekuatan militer serta memelihara kesiagaan operasional.

“Patut digaris bawahi bahwa penggunaan kekuatan TNI merupakan kewenangan Panglima TNI sesuai ketentuan Pasal 19 Ayat (1)  UU No. 34 tahun 2004  yang menyatakan tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI berada pada Panglima TNI, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, patut dipahami bahwa Wakasal tidak memiliki otoritas pelaksanaan komando dan pengendalian. Otoritas itu ada pada Panglima Armada atas perintah Panglima TNI,” jelasnya.

Untuk diketahui, Perjuangan Bangsa Indonesia untuk menjaga keutuhan dan memelihara keamanan laut wilayah dan laut di bawah yurisdiksinya merupakan sebuah perjalanan panjang, dimulai dengan Deklarasi Juanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja.  Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah laut sekitar, di antara dan di dalam wilayah NKRI, sehingga laut harus dimaknai sebagai pemersatu, bukan pemisah antara satu pulau dengan pulau lainnya.

Deklarasi Djuanda pada tahun 1982 diterima dunia internasional dan ditetapkan sebagai konvensi hukum laut PBB ketiga, tahun 1982 (UNCLOS 1982) yang diratifikasi dengan UU Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982  bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Dalam upaya mengoptimalkan penegakan hukum di laut, tahun 1972 dibentuklah Badan Koordinasi Keamanan Laut berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yakni Menhankam/Pangab, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung.

Ketua Bakorkamla adalah Menhamkam/Pangab dengan Panglima Komando Operasi Keamanan Laut dipegang Panglima Armada, dan Pelaksana Harian  Operasi Keamanan Laut dijabat Komandan Gugus Keamanan Laut (Danguskamla). Bakorkamla bentukan 1972 ini dalam penerapannya mengalami banyak masalah, karena instansi lain yang memiliki kewenangan penegakan hukum di laut sesuai bidangnya seperti Bea Cukai, Perhubungan Laut, Polri, tetap melaksanakan patroli sendiri-sendiri.

Bakorkamla hanya memiliki kewenangan pengendalian atas sebagian kecil kekuatan instansi yang memiliki kewenangan tersebut, yaitu kapal berikut personel dan logistiknya di bawah komando operasi Komandan Gugus Keamanan Laut sebagai Pelaksana Harian  Komando Operasi Keamanan Laut.

Untuk mengatasi ketidak-efisienan yang terjadi, tanggal 29 Desember 2005 dideklarasikan pembentukan Bakorkamla berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2005. Mengingat tugas dan tanggungjawab yang masih sebatas koordinasi, Bakorkamla 2005 inipun belum mampu menjadi Single Agency Multi Task seperti yang diharapkan.

“Sementara itu, UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran menegaskan pembuatan Coast Guard Indonesia, dimana kewenangannnya terbatas menegakkan UU tentang Pelayaran tersebut, artinya tidak memiliki kewenangan menegakkan pelanggaran di laut seperti pelanggaran ketentuan perikanan, Bea Cukai, penyelundupan dan lain-lain,” ungkapnya.

Kelahiran UU No.34 tahun 2014 tentang Kelautan yang memuat pembuatan Badan Keamanan Laut yang bertanggungjawab langsung pada presiden RI dalam kenyataannya belum juga diberlakukan sebagai Single Agency Multi Task karena adanya ego sektoral yaitu keengganan instansi lain untuk mengalihkan kewenangannya untuk diserahkan pada Bakamla yang akan mengakibatkan penegakan hukum di laut hanya dapat dilakukan oleh Bakamla yang membawahi semua Government Ship dan TNI AL yang membawahi War Ship sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982.

“Kehadiran Bakamla alih-alih mengefisienkan upaya penegakan hukum di laut, tetapi justru menambah komplikasi dan ketidak efisienan upaya.  Menghadapi permasalahan ini, Presiden Joko Widodo telah mengambil keputusan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden RI No.115 Tahun 2015. Ironinya, keputusan tersebut bukan merupakan komitmen politik sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk meperkuat Bakamla, namun membuat Perpres pembentukan Satgas Pemberantasan penangkapan ikan illegal. Perpres ini bukan hanya cacat hukum tetapi juga cacat dalam proses pengkajiannya,” tegasnya.

Indonesia Institute for Maritime Studies berpendapat, bahwa fungsi dan wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan  seharusnya tidak mencakup aspek operasional penggunaan komando dan pengendalian terhadap TNI. Menteri Pertahanan sekalipun tidak memiliki kewenangan operasional komando dan pengendalian, pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.

Hal yang masih perlu diatur dan dikoordinasikan terkait eksekusi oleh TNI AL sebagai alat eksekutor jaksa khusus dalam melaksanakan peledakan dan penenggelaman kapal ikan. Hal yang perlu diatur dan dikoordinasikan dengan lebih baik adalah berkaitan dengan lokasi kapal yang ditenggelamkan dan penggunaan amunisi yang sampai saat ini masih menjadi beban TNI AL.

“Proses pemusnahan kapal ikan sebagai barang bukti tersebut juga dinilai tidak sejalan  dengan KUHAP sebab pemusnahan barang bukti dilakukan hanya untuk barang yang tidak bermanfaat bagi manusia seperti pemusnahan minuman keras oplosan, narkotika dan obat-obat berbahaya, obat-obatan dan makanan kadaluwarsa.
Kapal-kapal ikan sitaaan itu sebaiknya dilelang dengan harga murah untuk dibeli para nelayan untuk meningkatan kesejahteraan nelayan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka