Jakarta, Aktual.com — Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan yang sudah dikeluarkan. Hal ini terkait dengan rencana Presiden Joko Widodo yang membuka peluang untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP).

Pengamat ekonomi Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah baru saja menerapkan strategi untuk meningkatkan produktivitas nasional dan daya saing nasional melalui paket kebijakan ekonomi jilid I-V, namun ketika paket kebijakan ekonomi tersebut belum dilakukan dan langkah-langkahnya belum dilalui, tiba-tiba pemerintah sudah langsung berani ‘bertarung’ dengan masuk ke dalam TPP.

“Dari logika sederhananya itu sudah tidak ada konsistensi di dalam bisnis proses dalam suatu langkah-langkah pembangunan,” kata Enny kepada wartawan di Jakarta, Selasa (3/11).

Menurutnya, Indonesia masih belum siap masuk ke dalam TPP karena Indonesia masih menyimpan banyak masalah dan banyak kendala dalam sistem ekonominya. Bahkan, dalam melakukan ratifikasi dengan Free Trade Area (FTA) tentunya tidak terkonsentrasi pada satu atau dua negara, pastinya terkonsentrasi ke semua negara yang tergabung di dalam TPP.

Ia menjelaskan, memang benar dengan bergabungnya Indonesia ke TPP sektor tekstil akan diuntungkan mengingat ekspor dan impor dari Amerika tergolong cukup besar. Meski begitu, keuntungan dari sektor tekstil tersebut masih belum bisa dipastikan oleh pemerintah.

Akan tetapi, di sisi lain jika masuk ke dalam TPP maka dampaknya pemerintah tidak dapat memproduksi obat-obat murah sehingga implikasinya terasa terhadap keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Lalu di sektor pertanian, pertanian Amerika Serikat dan Selandia Baru sudah cukup kompetitif dalam bersaing. Nah bagaimana kita melindung petani-petani kita? Petani-petani kita siap tidak bertarung ? Bertarung dengan negara-negara TPP,” ujar dia.

Ia mengingatkan, seharusnya pemerintah membuat kajian yang kompherensif dalam setiap memutuskan sesuatu dengan mendengar langsung dari pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan cara tersebut setidaknya pemerintah sudah mengetahui resikonya dan dapat meminimalisir resiko yang nantinya diterima.

Dirinya menduga ketertarikan Indonesia masuk ke dalam TPP dikarenakan tuntutan dari pelaku-pelaku industri tekstil karena pemerintah sudah memberikan fasilitas mengurangi beban biaya Tarif Dasar Listrik (TDL).

Di satu sisi kompetisi tekstil Indonesia langsung dengan Vietnam yang juga anggota TPP. Namun pemerintah tidak bisa menjadikan acuan tersebut untuk bergabung dengan TPP.

“Pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan negara dalam jangka menengah dan panjang. Termasuk kepentingan target industrialisasi kita,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan