Jakarta, Aktual.com — Surat Edaran (SE) Kapolri tentang ujaran kebencian atau hate speech masih menjadi kontroversi di masyarakat. Sebab jika diperhatikan batasan ujaran kebencian tersebut multitafsir.
Pendapat tersebut disampaikan pakar sosiologi komunikasi sekaligus dosen Universitas Islam 45 Bekasi Yudha Asmara ketika dihubungi, Rabu (4/11). Padahal, sambung dia, fungsi media sosial dan media lainnya adalah kontrol sosial untuk pemerintahan Presiden Jokowi-JK.
“Jika berangkat dari kritis, fungsi kontrol sosial ya tentunya bukan menebarkan kebencian,” kata dia.
Sebab, sambung dia, ukuran ujaran kebencian itu multitafsir. Contoh, ketika sebuah kebijakan saat harga BBM naik, ada mahasiswa yang menulis status harga mahal. Padahal selaku masyarakat tentunya hal itu sebagai bentuk menyampaikan keluh-kesah.
“Wah harga mulai mahal lagi nih’. Nah, ukuran kategori hate speech itu dia menyampaikan keluh-kesah atau menyampaikan kebenaran tetapi disebutnya pencemaran nama baik atau hasut-menghasut. Hal itu yang saat ini masih menjadi perdebatan.”
Yudha menambahkan, pemerintah seharusnya memiliki sistem atau formulasi regulasi yang benar-benar sah, sehingga tidak menimbulkan kontroversi. “Saya sebagai akademisi melihat, harus ada formula sistem yang benar-benar menjadi ukuran yang benar.”
Sebab, lanjut dia, kategori pencemaran nama baik, hasut-menghasut harus dipegang oleh lembaga yang netral, independen dan membutuhkan analisis juga investigasi mendalam.
“Ketika hal ini berkait dengan kapitalisme atau imperialisme akan rusaklah fungsi media sebagai kontrol sosial,” ujar Yudha.
Menurut Yudha, suatu ujaran media sosial yang bisa dikatakan hate speech membutuhkan sebuah proses, sehingga tidak bisa melihat sebuah objek berdasarkan satu sudut pandang saja.
“Jika diperhatikan dengan saksama melihat hal yang baik fungsi dari media sebagai kontrol sosial, masyarakat bisa mengkritik atau menyampaikan pendapat mereka terhadap pemerintah.”
Apabila UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik lewat media sosial dijadikan alat untuk melemahkan lawan-lawan politik, akan menghancurkan kontrol sosial itu sendiri.
“Kalau saya akademisi, ini yang paling ditekankan, jangan sampai formula regulasi ini dibuat untuk memakan lawan-lawan politik,” kata Yudha.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu