Menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan. Yang pertama mereka ciptakan adalah nama. Tanda pengenal diri, yang memberi kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakannya. Jika Belanda menandai tanah-air ini sebagai Hindia-Belanda, yang diperjuangkan generasi Sukarno adalah memberi nama baru kepada tumpah darahnya. Semula ditemukan sebuah istilah dalam bahasa Belanda ‘Indonesische’, yang merujuk pada suatu geo-kultur di kawasan Austronesia yang berciri kepulauan dan bercorak kultur India. Maka pada 1922, perkumpulan pelajar Indonesia di Negeri Belanda, Indische Vereeniging, berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Pada 1924, Sutomo mendirikan kelompok studi pertama pemuda-pelajar bumiputera dengan nama ‘Indonesische Studieclub’. Dari sinilah kemerdekaan Indonesia menemukan jangkarnya.
Demikianlah, perjuangan menjadi Indonesia adalah perjuangan melawan kolonialisme dan feodalisme yang dimulai dengan memancangkan “pikiran” dan “keberaksaraan” sebagai kehormatan sosial. Dengan logika yang sama, manakala “pikiran” dan “keberaksaraan” tidak lagi dihormati, maka feodalisme menguat kembali.
Lima belas tahun setelah reformasi digulirkan, perkembangan demokrasi Indonesia ibarat mengenakan baju secara terbalik. Demokrasi yang mestinya dijiwai oleh meritokrasi justru menghidupkan feodalisme baru dalam bentuk nepotisme. Terdapat tanda-tanda bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh ‘kebangsawanan baru’ berbasis uang dan keturunan. Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki dan memperbaharui dirinya sendiri.
Tanpa kapasitas pembelajaran, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti bangsa maju. Padahal, secara substantif, tak ubahnya bak Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase “kanak-kanak” (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi. Dalam kasus strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.
Pendakuan Indonesia sebagai Negara demokratis terbesar ketiga di dunia makin nyaring terdengar di panggung pencitraan, tetapi nilai-nilai kontra-demokrasi menelikung lewat pintu belakang prosedur demokrasi, menikam demokrasi dari balik selimut. Perkembangan demokrasi bukan saja diikuti oleh penyemarakan modus korupsi dan kolusi, tetapi juga membawa arus balik nepotisme dalam bentuk penguatan dinasti politik.
Nepotisme, perlakuan istimewa tanpa rasionalitas terhadap suatu keluarga, menistakan jatidiri bangsa dan nilai-nilai demokrasi: karakter keindonesian dibentuk oleh semangat anti-feodalisme dan anti-kolonialisme. Nepotisme juga melanggar kesamaan hak warga negara yang menuntut prinsip-prinsip fair play dan meritokrasi dalam politik. Bahwa posisi seseorang tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip hereditas melainkan oleh pengetahuan, pengalaman, kreativitas dan prestasinya.
Tak terbantahkan, bahwa seseorang yang terlahir dari dinasti politik mendapatkan keuntungan modal sosial dan kultural, berupa proses familiarisasi lebih dini dengan “bahasa” dan pergaulan politik. Mereka juga diuntungkan oleh pengenalan publik yang lebih baik karena asosianya dengan keluarga-keluarga terkenal. Modal-modal inilah yang memudahkan mereka terjun ke dalam dunia politik.
Meski demikian, sejauh dikaitkan dengan prinsip-prinsip demokrasi, fakta keberuntungan tersebut sama sekali tidak boleh menapikan prinsip-prinsip fair play dan meritokrasi. Siapapun, dari keluarga mana pun, harus sama-sama mengikuti proses pengkaderan dan menapaki jenjang posisi politik menurut ukuran prestasi.
Gelombang pasang nepotisme di Indonesia saat ini, baik tingkat pemerintahan pusat maupun daerah ditimbulkan oleh perpaduan dari unsur-unsur degenaratif dari bangsa ini. Selain mencerminkan peluluhan daya pikir, nepotisme juga mencerminkan lemahnya internalisasi budaya demokrasi serta meluasnya kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Alhasil, gelombang pasang nepotisme harus dibaca dalam bentuk symptomatic reading. Secara kultural, nepotisme merupakan gambaran bahwa perubahan pada perangkat keras (prosedur) demokrasi, belum diikuti oleh perubahan pada perangkat lunak (budaya) demokrasi. Secara struktural, nepotisme merupakan pertanda bahwa demokrasi yang kita kembangkan hanyalah sebatas fashion pencitraan, ketimbang membawa perubahan fundamental secara substantif. Nepotisme merupakan penampakan secara telanjang dari kegagalan kita mengembangkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Semuanya itu mengisyaratkan bahwa pencapaian demokrasi substantif memerlukan lebih dari sekadar perubahan prosedur-kelembagaan politik, melainkan perlu perubahan struktural berdimensi kebudayaan. Perhatian terhadap variabel budaya terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan 1950-an.
Para pengkaji budaya pada periode ini, dengan sederet nama besar seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye dan Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara yang terpuruk pasca Perang Dunia kedua. Namun, seiring dengan gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim kemarau pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak tahun 1980-an. Pada 1985, Lawrence Horrison dari Harvard Center for International Affairs menerbitkan buku, Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case, yang menunjukkan bahwa di kebanyakan negara Amerika Latin, budaya merupakan hambatan utama untuk berkembang.
Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara-negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan sosial-politik dan krisis ekononomi yang sama, namun sebagian kelompok lebih berhasil dibanding kelompok lainnya. Ambillah contoh keberhasilan minoritas etnis Tionghoa di Asia Tenggara, minoritas Jepang di Brazil, Basque di Spanyol, serta Yahudi ke mana pun mereka bermigrasi.
Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan politik ditunjukkan antara lain oleh riset yang dilakukan oleh Robert Putnam (1993) dan Ronald Inglehart (2000). Menurut Putnam, budaya adalah akar dari perbedaan-perbedaan yang besar antara Italia utara yang bercorak demokratis dan Italia Selatan yang bercorak otoritarian. Kesimpulan kedua ilmuwan tersebut mewarisi pemikiran rintisan dari Alexis de Tocqueville (1835; 1998), yang menyimpulkan bahwa apa yang membuat sistem politik Amerika berhasil adalah kecocokan budayanya dengan demokrasi.
Arus balik kesadaran akan pentingnya nilai budaya sebagai titian kemajuan ini bisa dijadikan koreksi terhadap kecenderungan untuk menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Secara latah, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamantkan pada faktor-faktor semacam modernisasi, investasi, industrialisasi, partai politik, pemilihan umum, dan aspek-aspek prosedural kelembagaan politik lainnya.
Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Dalam sejarah kemajuan Eropa Barat dan Amerika Serikat, Jurgen Habermas (1990) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perubahan sosial-budaya (formasi kerangka institusional dan bentuk integrasi sosial baru) dengan laju perkembangan teknologi dan produksi, dimana perkembangan yang terakhir justru terjadi kemudian setelah adanya reformasi “sosial budaya”; bahwa revolusi industri di Eropa (abad 17-19) didahului oleh revolusi kebudayaan, Renaissance (abad 14-16). Di luar pengalaman Barat, kemajuan pesat yang dicapai oleh perekomian China saat ini pun didahului oleh revolusi kebudayaan, apapun penilaian orang terhadap pelaksanaan dan implikasinya.
Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide dan jalan hidup (ways of life). Dalam hal ini, minat pengetahuan (knowledge interest) serta aktivitas produksi ide (ideas-producing activities) sangat esensial dalam mengkonstruksikan identitas kolektif baru yang memungkinkan gerakan sosial mampu memelihara vitalitasnya.
Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. Adalah melalui sastera, nyanyian dan seni yang lain—yang dibudayakan dalam masyarakat—yang bisa membuat gerakan dan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif. Tentang hal ini, pada dekade 1960-an, Herbert Marcuse menekankan dimensi estetik dari gerakan sosial pada masa itu, dengan menegaskan bahwa dalam seni, musik dan sastera lah gerakan-gerakan sosial mengingat dan menyimpan tradisi kritik dan perlawanan (Marcuse, 1969). Hal ini diperkuat oleh Richard Flacks dalam analisisnya tentang “tradisi kiri” Amerika, yang mengindikasikan bahwa gerakan sosial seringkali lebih penting sebagai aktor budaya ketimbang politik (Flacks, 1988).
Tentang pentingnya gerakan kebudayaan sebagai cara menghadirkan kewarasan demokrasi, ada baiknya kita simak pernyataan Antonio Skármeta, Sastrawan Chile, ”Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan” (Skármeta 1996: 48-49).