Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, artikel berjudul “Waiting in the White House Lobby” yang ditulis Michael Buehler, tidak tepat informasi.
“Artikel yang berjudul ‘Waiting in the White House Lobby’ yang didasarkan pada dokumen Services Agreement antara Pareira International Pte Ltd dan R&R Partners banyak yang tidak tepat informasi. Informasi yang disampaikan digabung dengan ilmu mencocokkan,” ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis, Minggu (8/11).
Pertama, lanjut dia, dalam dokumen itu tidak ada satu kata pun yang merujuk pada Pemerintah Indonesia.
Kedua, dokumen tersebut tidak menyebut bagaimana hubungan antara Pareira International Pte Ltd dengan Pemerintah Indonesia, namun Michael Buehler menyimpulkan bahwa dokumen ini seolah atas permintaan Pemerintah Indonesia.
“Padahal bisa saja Pareira International Pte Ltd disewa oleh pebisnis Indonesia,” kata dia lagi.
Ketiga, rujukan terkait ruang lingkup kerja dari lobbyist (yang disebut dalam perjanjian sebagai konsultan) tidak merujuk pada pertemuan Presiden RI dengan Presiden AS.
Ia menjelaskan, dalam ruang lingkup perjanjian ada tiga hal, yaitu mengatur pertemuan dengan para pejabat baik di legislatif maupun pemerintah. Kedua, menyampaikan isu-isu saat legislatif dan pemerintah (joint sessions) bertemu. Ketiga, mengidentifikasi dan bekerja dengan tokoh berpengaruh di AS.
“Ruang lingkup pekerjaan ini seolah berkaitan dengan kunjungan Presiden Jokowi ke AS,” katanya.
Ia mengatakan, kemungkinan Michael Buehler merangkai artikelnya antara Services Agreement dengan informasi yang didapat dari berbagai pihak dari Indonesia.
Atas dasar ini, argumentasi yang hendak disampaikan adalah Presiden Jokowi tidak memegang kendali terhadap pemerintahan.
“Padahal apa yang disampaikan oleh Michael banyak spekulasinya dan bertentangan dengan norma diplomasi antarnegara,” ujar dia.
Pertama, untuk kunjungan antarkepala pemerintahan dan kepala negara tidak dikenal ‘broker’ untuk mempertemukan. Semua diatur melalui chanel-chanel diplomatik dan pemerintahan.
“Kedua, cerita tentang ketidakharmonisan antara Menkopolhukam dan Menlu tidak didasarkan pada analisis ilmiah melainkan gosip-gosip politik yang mungkin didapat oleh Michael dari media dan teman-temannya di Indonesia,” katanya lagi.
Ketiga, adalah prematur bila Michael mengaitkan Pareira seorang warga negara Singapura yang mempunyai koneksi dengan para pejabat di Indonesia bahwa Pareira disewa oleh Pemerintah Indonesia.
Karena bila melihat Services Agreement, tidak ada rujukan kata Pemerintah Indonesia.
Untuk itu pemerintah Indonesia melalui Kedubes Indonesia di Inggris dapat meminta klarifikasi dari Michael.
“Klarifikasi ini bisa diminta melalui universitas dimana Michael bekerja. Ini perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi kredibilitas universitas tersebut, meski Michael mempunyai kebebasan akademik,” ujar Hikmahanto pula.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby