Jakarta, Aktual.com — Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq menyatakan Indonesia harus mulai membangun kemitraan strategis secara nyata dengan aktor-aktor kekuatan dunia.

“Kemitraan strategis yang dibangun itu juga harus konkrit,” katanya, di Jakarta, Kamis (12/11).

Menurut dia, saat ini banyak orang bertanya bagaimana sebenarnya politik luar negeri Indonesia dengan Amerika Serikat dan Tiongkok.

“Tanpa adanya kejelasan mengenai apa yang dimaui, tentu membingungkan pelaku ekonomi dan politik,” kata Mahfudz Siddiq.

Selain itu, kata politisi PKS ini, pemerintah juga harus paham betul peta politik yang sedang terjadi. Sebab bila tidak, maka Indonesia hanya akan menjadi aktor pendukung yang dipaksa untuk memainkan peran yang diatur oleh negara lain.

“Kalau kita melihat peta konflik dunia, ada dua pola yang mempengaruhi kita. Yang pertama adalah konflik di Timur Tengah yang basisnya separatis, etnis dan konflik Suni-Syiah,” ujarnya.

Sedangkan yang kedua adalah konflik Tiongkok-AS di Laut China Selatan. Dalam konflik itu, ada aliansi kekuatan AS, Jepang dan Taiwan. Sementara, posisi Indonesia ada di tengah dan akan saling bersilangan.

“Bila tidak punya pemahaman dan pandangan yang jelas, Indonesia akan terombang-ambing seperti botol kosong di lautan. Padahal, Indonesia biaa menggunakan kekuatan regional seperti ASEAN,” katanya.

Namun sayangnya sebagai kekuatan alternatif, sikap ASEAN terpecah dan tidak solid. Selain itu, Indonesia juga tidak dalam posisi memimpin.

“Posisi Indonesia tertinggal dari Malaysia, Thailand dan bahkan sebentar lagi ketinggalan dari Vietnam. Beberapa negara ASEAN sudah lebih dulu mengembangkan pola kerja sama regional baru di luar ASEAN,” katanya.

Hal itu membuat ASEAN semakin sulit dijadikan sebagai basis kekuatan regional bagi Indonesia. Sementara jika mau tetap berdiri sendiri, maka Indonesia tidak akan kuat.

Karena itu, Indonesia harus memikirkan untuk memikirkan kembali kemitraannya di ASEAN. Kalau tidak Indonesia akan ketinggalan karena sebagian anggota ASEAN juga masuk karena sebagian anggota ASEAN juga masuk Trans-Pacific Partnership (TPP).

Kalau mau berdiri sendiri tanpa kekuatan regional seperti ASEAN, posisi Indonesia lemah. ASEAN sendiri tidak kompak.

“Jadi kita harus memikirkan kembali posisi kemitraan dengan ASEAN. Indonesia sudah harus memikirkan kebijakan luar negeri yang baru,” katanya.

Selain itu posisi Indonesia secara ekonomi masih sangat tergantung pada Yuan Tiongkok dan Dolar AS dan ketergantungan pada pada minyak dunia. Artinya sangat tergantung pada situasi di Timur Tengah akan membuat posisi Indonesia rentan.

“Belum lagi posisi Indonesia yang strategis yang banyak memiliki sumber pangan dan energi, kalau kebijakan kita tidak jelas, Indonesia hanya akan jadi ‘bancakan’ banyak negara nantinya,” katanya.

Bila ASEAN tidak bisa dijadikan pijakan regional, Indonesia bisa membuat kebijakan politik luar negeri yang baru. Kebijakan politik Indonesia harus diperjelas.

“Apalagi bila ditarik 20 tahun ke depan, dimana konflik utama adalah perebutan sumber daya ekonomi, khususnya pangan dan energi,” katanya.

Namun semua itu tidak bisa dicapai kalau pemerintahan saat ini tidak selesai-selesai melakukan konsolidasi di dalam negeri.

“Ibarat punya keluarga, bagaimana kita bisa menjadi ketua RT atau RW, kalau di rumah tangga sendiri antara ayah dan ibu berantem, ibu dengan anak marahan dan ribut terus.”

Artikel ini ditulis oleh: