Jakarta, Aktual.com — Regulasi terkait dengan pemilihan kepala daerah yang memberikan batasan peredaran uang dalam pilkada pengaruhnya cukup signifikan terhadap animo dan antusiasme partai politik dan masyarakat lokal, kata pengamat politik LIPI R. Siti Zuhro.
“Hal itu menunjukkan uang memegang peran besar dalam pilkada dan menjadi salah satu faktor mengapa pilkada serentak terkesan senyap? Padahal, pilkada serentak di 269 daerah ini baru pertama kali digelar di Indonesia,” kata Siti Zuhro, Jakarta, Sabtu (14/11).
Ia menyebutkan faktor lain sebagai pemicu kesenyapan dalam pilkada serentak tahun ini, yakni belum cukup sosialisasi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, peraturan KPU yang menimbulkan keberatan dari DPR atau partai politik, kesiapan parpol, dan dampak pilkada sebelumnya.
Praktik pilkada yang mencapai sekitar 1.027 di provinsi, kabupaten, dan kota dalam kurun waktu 2005-2014, menurut Prof Wiwieq (sapaan akrab R. Siti Zuhro), telah memunculkan dampak-dampak negatif, seperti pimpinan daerah yang berurusan dengan hukum dan masuk penjara, sehingga membuat publik skeptis.
Alumnus Curtin University, Perth, Australia itu juga berpendapat bahwa pelaksanaan pilkada serentak mengacu pada UU pilkada yang baru disepakati antara pemerintah dan DPR RI.
“Undang-undang baru tentang pilkada ini (UU Nomor 8 Tahun 2015, red.) belum cukup tersosialisasikan ke daerah-daerah, tetapi sudah harus jadi rujukan,” katanya.
Di tengah perjalanan, ada yang mengajukan permohonan uji materi (judicial review) sejumlah pasal dalam UU No.8/2015 ke Mahkamah Konstitusi, kemudian MK memutuskan Pasal 49 Ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), Pasal 51 Ayat (2), dan Pasal 52 Ayat (2) UU No. 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 (Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2015).
Atas putusan itu, KPU menerbitkan PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.
Penyebab kesenyapan lainnya, kata Prof. Wiwieq, KPU membuat peraturan-peraturan terkait dengan pilkada serentak yang acap kali menimbulkan keberatan dari DPR atau parpol dan bahkan juga kebingungan masyarakat.
Di lain pihak, kata pakar otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, secara umum partai politik terkesan belum siap. Munculnya pasangan calon tunggal, misalnya, mengindikasikan peluang kontestasi dalam pilkada menjadi sirna.
“Asumsinya, kontestasi tak diperlukan lagi ketika muncul calon yang sangat kuat dan dipastikan akan memenangi pilkada. Hal ini tentu membuat pilkada serentak miskin animo atau antusiasme publik,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka