Jakarta, Aktual.com — Harga minyak naik di perdagangan Asia pada Senin, karena ketegangan geopolitik dipicu oleh serangan teror mematikan di Paris, tetapi analis mengatakan kelebihan pasokan minyak mentah global kemungkinan akan membatasi setiap keuntungan.

Pesawat-pesawat tempur Perancis menggempur ibukota “de facto” kelompok ISIS di Suriah pada Minggu (15/11) sebagai pembalasan atas pembantaian di ibukota Prancis yang diklaim oleh kelompok militan tersebut, memicu kekhawatiran meningkatnya ketegangan di produsen minyak Timur Tengah yang bergejolak itu.

Pada sekitar pukul 06.30 GMT, patokan AS minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember naik 19 sen menjadi 40,93 dolar AS per barel, dan minyak mentah Brent untuk Januari — kontrak baru — diperdagangkan 30 sen lebih tinggi pada 44,77 dolar AS per barel.

“Karena Prancis mulai meningkatkan upaya-upaya (militer)-nya di wilayah terdampak, harga untuk sisa minggu ini kemungkinan memiliki beberapa dorongan lebih tinggi,” kata Daniel Ang, seorang analis investasi Phillip Futures di Singapura.

Namun, dia mengatakan bahwa “harga mungkin tidak naik terlalu banyak” karena minyak mentah kelebihan pasokan.

“Kenaikan harga dipicu oleh ketegangan geopolitik hanya akan berjangka pendek. Untuk jangka panjang, pendorong utama untuk harga adalah penawaran dan permintaan, dan dengan kelebihan pasokan itu akan sedikit lebih sulit untuk harga untuk bergerak naik lebih jauh,” katanya kepada AFP.

Ang mengatakan kenaikan pada Senin dibantu oleh perburuan harga murah setelah harga turun ke posisi terendah dua bulan pada Jumat lalu, menyusul data yang menunjukkan stok minyak mentah komersial di negara-negara maju telah naik ke rekor tinggi.

Tetapi dolar yang kuat juga meredam kenaikan harga.

Minyak diperdagangkan dalam mata uang AS dan dolar yang kuat membuat komoditas tersebut lebih mahal bagi pemegang unit yang lebih lemah, sehingga merugikan permintaan.

Harga minyak telah merosot lebih dari setengahnya sejak mencapai puncaknya di atas 100 dolar AS per barel pada pertengahan 2014 karena kelebihan pasokan, mendekati tingkat rekor produksi dan pelambatan ekonomi global, khususnya pengguna energi utama Tiongkok.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan