Jakarta, Aktual.com — Negara-negara di Asia Tenggara mulai melihat potensi tenaga nuklir sebagai salah satu sumber energi untuk ketersediaan listrik.
Salah satu negara yang telah berkomitmen untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) adalah Vietnam.
Pemerintah Vietnam menyatakan akan bekerja sama dengan Rusia untuk membangun dua PLTN di provinsi Ninh Thuan sebelum tahun 2020.
“Sebelum 2020, Vietnam akan mulai pembangunan PLTN di provinsi Ninh Thuan,” kata Deputi Direktur Dewan Manajemen Proyek Tenaga Nuklir Ninh Thuan, Nguyen Manh Hung.
Pernyataan tersebut dia sampaikan di sela-sela acara Lokakarya bertema “Public Acceptance of Nuclear Technologies: Sharing Asian Experience” di Phan Rang – Tap Cham, Vietnam pada 13 November.
Menurut Manh Hung, untuk pembangunan PLTN di provinsi Ninh Thuan, sejauh ini pihaknya telah melakukan studi kelayakan untuk proyek PLTN Ninh Thuan yang pertama dan hasilnya telah diserahkan kepada Pemerintah Vietnam untuk dikaji dan mendapatkan persetujuan.
“Studi kelayakan untuk proyek PLTN Ninh Thuan nomor satu sudah selesai. Kami sedang menunggu persetujuan dari pemerintah kami,” kata dia.
Dia menyebutkan bahwa hasil studi kelayakan proyek PLTN Ninh Thuan itu diharapkan dapat disetujui pada awal 2016 sehingga desain teknis dari PLTN tersebut dapat segera dibuat.
“Desain teknis untuk PLTN akan kami serahkan kembali ke pemerintah untuk persetujuan. Kemudian, kami mempersiapkan dokumen tender untuk pembangunan PLTN Ninh Thuan sebelum 2020,” ujar dia.
Manh Hung mengungkapkan, dana untuk pembangunan PLTN tersebut berasal dari investasi berupa pinjaman yang diberikan oleh Pemerintah Rusia, dan pengembalian pinjaman dilakukan pemerintah Vietnam setelah PLTN yang dibangun nanti sudah beroperasi selama 19 tahun.
Dia mengaku masyarakat Vietnam pun menyambut baik rencana pembangunan PLTN tersebut.
“Dalam hal ini, kami tidak mempunyai masalah dengan penerimaan publik terhadap PLTN yang akan dibangun. Masyarakat lokal di sini (Ninh Thuan) mengerti dan mereka bangga PLTN bisa dibangun di sini,” ungkap dia.
Dengan demikian, melalui kerja sama dengan BUMN Nuklir asal Rusia, Rosatom, Vietnam akan menjadi salah satu dari banyak negara yang memanfaatkan energi nuklir untuk pasokan listrik.
Perlu energi nuklir Seperti halnya Vietnam, maka Indonesia merupakan salah satu negara yang memerlukan energi nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Anggota Komisi Teknis Energi Dewan Riset Nasional Arnold Soetrisnanto mengatakan Indonesia memang memerlukan PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi di seluruh wilayah, yang semakin sulit dilakukan melalui sumber energi lain.
“Energi nuklir merupakan suatu pilihan yang diperlukan Indonesia. Kalau dari segi kebutuhan sudah tidak perlu ditanyakan lagi, kita sudah butuh (energi nuklir),” kata Arnold.
Menurut dia, sumber-sumber energi yang digunakan di Indonesia saat ini untuk pasokan listrik, seperti batubara, sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh wilayah Indonesia.
“Untuk memenuhi kebutuhan listrik satu tahun bila memanfaatkan energi dari batu bara maka harus ada sekitar 200 juta ton batu bara per tahun yang harus disuplai ke PLTU (pembangkit listrik tenaga uap),” ujar dia.
“Ini perlu disampaikan ke kalangan pemasok batu bara. Apakah mereka mampu memasok batu bara sebanyak 200 juta ton per tahun,” lanjut dia.
Dia menilai ketahanan energi Indonesia sudah pada tahap krisis karena kebutuhan energi di daerah-daerah, khususnya di luar Pulau Jawa, seringkali tidak dapat terpenuhi dengan baik.
Hal itu terbukti dengan sering adanya pemadaman listrik bergilir di beberapa daerah, seperti di Sumatera dan di Kalimantan.
“Ketahanan energi Indonesia sebenarnya sih sudah krisis. Kalau melihat Jawa kayanya memang enak dan belum krisis. Akan tetapi coba lihat di Sumatera dan Kalimantan itu sudah krisis listrik,” jelas dia.
Dia juga mengungkapkan, para pemerintah daerah sudah sering mendorong pemerintah pusat untuk memulai pembangunan PLTN guna memenuhi kebutuhan listrik di daerah, namun belum ada kemauan dari pemerintah pusat untuk rencana pembangunan PLTN.
“Dorongan dari pemerintah daerah sudah seringkali muncul dari dulu karena kebutuhannya di daerah. Koordinator gubernur-gubernur di Kalimantan pernah kirim surat ke Megawati untuk bikin PLTN, tetapi tidak terlaksana,” ungkap dia.
“Sekarang gubernur seluruh daerah Sumatera tandatangan surat dan kirim ke Jokowi untuk pembangunan PLTN, maka kita tunggu keputusan ini. Jadi, saya kira dorongan sudah banyak, tetapi saya tidak mengerti mengapa Pak Jokowi belum bisa memutuskan ‘ya’ untuk nuklir,” kata dia.
Komitmen kuat pemerintah pusat Untuk itu, Arnold berpendapat pemerintah pusat memerlukan komitmen kuat untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan PLTN yang sudah sering menjadi wacana solusi untuk memenuhi kebutuhan energi di Tanah Air.
“Yang harus dilihat saat ini adalah komitmen dan keputusan pemerintah. Semua infrastruktur untuk PLTN pertama di Indonesia sudah siap, kecuali keputusan dari pemerintah pusat,” kata dia.
Anggota Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) itu bahkan mengungkapkan, Indonesia dari segi infrastruktur sebenarnya sudah lebih siap dibandingkan Vietnam untuk membangun PLTN.
“Berdasarkan kesiapan infrastruktur, Indonesia sudah lebih siap dari Vietnam tetapi berdasarkan keinginan kuat pemerintah kita kalah dari Vietnam. Mereka sudah maju terus, sementara keputusan dari pemerintah kita berhenti,” ujar Arnold.
Dia memaparkan, dari 19 persyaratan standar infrastruktur nuklir yang ditetapkan “International Atomic Energy Agency” (IAEA), Indonesia sudah memiliki 17 infrastruktur standard IAEA.
“Secara infrastruktur Indonesia lebih unggul. Vietnam dari 19 infrastruktur IAEA, mereka baru selesaikan 12 termasuk ‘site’ nya mereka belum siap, tetapi mereka sudah ‘go nuclear’. Indonesia yang 17 infrastruktur standard IAEA untuk nuklir sudah siap, tetapi kita ‘go nuclear’ juga belum,” ungkapnya.
“Artinya, kebijakan pemerintah itu yang diperlukan untuk mulai membangun PLTN. Selama tidak ada kebijakan kita tidak akan kemana-mana,” ucap Arnold.
Manfaat jangka panjang Untuk mendorong komitmen pemerintah pusat dalam perencanaan dan pembangunan PLTN, menurut Arnold, diperlukan masukan mengenai manfaat jangka panjang dari teknologi nuklir dalam memenuhi kebutuhan energi.
Keputusan yang dibuat pemerintah pusat harus terlepas dari pemikiran jangka pendek mengenai manfaat ekonomi dari suatu program teknologi.
“Kalau untuk pengembangan teknologi diterapkan prinsip ekonomi jangka pendek seperti itu ya berat, maka tidak akan maju karena akhirnya keputusan ekonomi yang menang,” ujar Arnold.
Bahkan, kata dia, biaya untuk energi nuklir dari sisi ekonomi tidak semahal energi surya.
“Energi surya yang biayanya 25 sen per KwH diterima oleh pemerintah tetapi ini nuklir yang 10 sen per KwH kok ngga diterima dan jadi opsi terakhir?,” ucap dia.
Selain itu, dari sisi kelestarian lingkungan, tidak seperti penggunaan batu bara, penggunaan energi nuklir tidak menyumbang emisi karbondioksida (CO2), yakni musuh utama bagi negara kepulauan seperti Indonesia, yang harus mencegah dampak dari pemanasan global.
“Kita harus lihat jauh ke depan, dari sisi itu, nuklir harusnya menang karena tidak mengeluarkan emisi. Maka untuk jangka panjang Indonesia harusnya dukung pemakaian energi nuklir, tetapi kok malah jadi pilihan terakhir?,” ujar dia.
Untuk itu, pemerintah Indonesia harus mulai membuat keputusan berdasarkan pemikiran jangka panjang dalam pengembangan dan pemanfaatan energi nuklir.
Penerimaan publik Namun, pemanfaatan energi nuklir membutuhkan dukungan dari semua pihak, tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat. Untuk itu, penerimaan publik juga menjadi faktor penentu dalam upaya pemanfaatan teknologi nuklir.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengakui bahwa masalah penerimaan publik terhadap nuklir selama ini menjadi penghambat pemanfaatan nuklir untuk energi alternatif.
Hal serupa disampaikan oleh Manajer Komunikasi BUMN Nuklir Rusia Rosatom untuk Kawasan Asia Tenggara, Arkady Karneev, yang menilai kekhawatiran masyarakat terhadap bahaya nuklir seringkali mempengaruhi pengembangan teknologi nuklir di suatu negara.
“Saya secara konstan melihat bagaimana penerimaan publik dapat mempengaruhi pembangunan suatu proyek nuklir,” ujar dia.
Dia mengatakan, kurangnya pengetahuan dan mitos tentang teknologi nuklir dan radiasi membuat masyarakat kurang mendukung pemanfaatan teknologi nuklir, salah satunya PLTN.
Untuk itu, kata dia, masyarakat perlu mendapatkan edukasi dan sosialisasi yang tepat mengenai nuklir dan manfaatnya.
Beberapa pendekatan yang dilakukan Rosatom untuk mengedukasi masyarakat di Vietnam tentang manfaat nuklir, seiring proses pembangunan PLTN di Ninh Thuan, adalah kegiatan lokakarya dan penyebaran informasi melalui buku “Fakta-fakta tentang Atom”.
Pemerintah Indonesia juga bisa menerapkan pendekatan yang telah dilakukan Rusia untuk meningkatkan penerimaan publik terhadap penggunaan energi nuklir, yaitu mempromosikan pengetahuan dasar tentang radiasi dan ilmu nuklir serta memberikan informasi yang transparan dan dapat diandalkan tentang keselamatan PLTN.
Selain itu, pemerintah perlu menginformasikan manfaat sosial ekonomi dari energi nuklir pada tingkat nasional dan lokal.
Indonesia secara infrastruktur cukup siap untuk memulai rencana pembangunan PLTN dan pendekatan kepada masyarakat untuk dapat menerima teknologi nuklir pun sudah mulai dilakukan.
Permintaan pembangunan PLTN dari pemerintah daerah terus muncul karena kebutuhan listrik yang belum terpenuhi dengan pasokan energi yang masih terbatas.
Pada akhirnya, keputusan pemerintah pusat lah yang menjadi penentu utama dalam upaya pemanfaatan nuklir, terutama dilaksanakan atau tidaknya pembangunan PLTN di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan