Jakarta, Aktual.com — Staf pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Muradi, berpendapat bahwa Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) POLRI harus terus melanjutkan penyidikan dugaan rekayasa kasus pencemaran nama baik UU ITE yang melibatkan perseteruan antara dua orang pengusaha Azwar Umar dan Azhar Umar, pemilik saham mayoritas PT Multigroup Logistics Company (MLC) yang merupakan pemegang saham mayoritas pada Multiline Shipping Service (MSS) dan PT Multicone Indrajaya Terminal (MIT) dengan Hiendra Soenjoto selaku Direktur Utama pada MLC, sekaligus juga pada MSS dan MIT.
“Tugas Divpropam sesuai dengan Perkap 21/2010 adalah memeriksa profesionalitas Penyidik dan kewajaran dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan,” ujar Muradi yang juga mengajar di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK – PTIK).
Menurutnya, jika ada pengaduan dari terlapor, warga negara Indonesia, yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil dalam penyidikan, maka institusi Polri, khususnya Propam, harus menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah.
“Sehingga, jika sudah diketemukan kekeliruan dalam proses penyidikan apalagi tidak dapat dibuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan maka penyidikan kasus tersebut harus dihentikan. Tidak perlu lagi masuk ke proses kejaksaan apalagi pengadilan,” tegasnya.
Muradi menambahkan, jika ada pihak yang mengatakan bahwa Divpropam melanggar aturan dengan memeriksa hingga masuk ke materi perkara, berarti pihak tersebut tidak paham isi Peraturan Kapolri No. 21/2010 khususnya yang dijabarkan dalam Lampiran F peraturan tersebut.
“Kalau memang ada kesalahan dalam proses penyidikan khususnya untuk membuktikan ada tidaknya tindakan pidana, maka mau tidak mau penyidikan itu masuk ke materi perkara,” jelasnya.
Menurut Muradi, semangat dari diwujudkannya Divpropam ini adalah untuk memastikan tidak ada warga negara Indonesia yang dilanggar Hak Asasinya dan mendapat perlakuan semena-mena dari aparat.
“Jadi bukan semata kode etik belaka,” katanya.
Dalam hal Propam telah menemukan adanya pelanggaran oleh Penyidik dalam perkara tersebut maka harus ditindaklanjuti dengan pelaksanaan gelar perkara.
“Ini untuk melindungi warga negara Indonesia yang tidak bersalah,” jelasnya.
Untuk diketahui, Kasus ini bermula pada peristiwa di tanggal 18 Juni 2014, pada saat Azhar Umar sebagai Direktur dan pemegang saham mayoritas di MIT dan MSS memperoleh informasi dari pihak Bank Danamon dan Bank UOB bahwa Hiendra Soenjoto tengah berupaya mengubah specimen tanda tangan rekening perusahaan di Bank Danamon dan Bank UOB menjadi specimen tanda tangan tunggal Hiendra Soenjoto. Hiendra Soenjoto pada saat itu sudah dalam kondisi diberhentikan sementara oleh Azwar Umar dari jabatannya sebagai direktur utama di MIT dan MSS.
Guna mencegah tindakan Hiendra Soenjoto tersebut dan berdasarkan permintaan dari pihak bank, Azhar Umar kemudian memerintahkan Rangga Dahana (Legal Manager Multigroup) untuk mengirimkan surat elektronik (e-mail) tentang pemberhentian sementara Hiendra Soenjoto tersebut kepada Bank Danamon dan Bank UOB.
Pengiriman surat elektronik yang berisi pemberhentian sementara Hiendra kepada Bank UOB dan Danamon inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Hiendra Soenjoto untuk mengajukan laporan pidana pencemaran nama baik melalui ITE terhadap Azwar Umar, Azhar Umar dan Rangga Dahana.
Hiendra mendasari laporan pidana ITE tersebut dikarenakan menurutnya Azwar Umar tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikannya karena ia sudah tidak lagi menjabat sebagai satu-satunya komisaris dalam MIT dan telah diberhentikan sebagai komisaris dalam MSS, beberapa waktu sebelum pemberhentian sementara Hiendra dilakukan melalui dokumen-dokumen perusahaan yang dibuat sendiri oleh Hiendra. Sehingga pemberhentian sementara tersebut diklaim tidak sah dan karenanya pemberitahuan kepada bank merupakan tindakan pencemaran nama baik terhadap Hiendra Soenjoto yang dilaporkan melalui Polres Jakarta Utara.
Namun faktanya, hingga saat pengiriman pemberitahuan kepada bank melalui email tersebut dilakukan, dokumen-dokumen versi Hiendra tersebut tidak pernah diberitahukan dan tidak diketahui keberadaannya oleh Azhar Umar dan Azwar Umar.
Kasus ini telah mendapat sorotan beberapa pihak. Bahkan beberapa di antaranya menentang penyidikan Divpropam lebih lanjut. Salah satunya adalah dari Indonesian Police Watch (IPW), melalui pernyataan ketuanya Neta S Pane yang merasa tindakan Propam menyalahi kewenangan dan prosedur (SOP) dan masuk ke materi perkara. Padahal, penyidikan Divpropam ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan adanya dugaan rekayasa atas kasus tersebut.
“Jika benar rekayasa tersebut dapat dibuktikan oleh Propam, maka sangkaan ITE kepada Azhar dan Azwar Umar ini harus di SP-3 kan,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka