Buruh melakukan aksi mogok nasional yang dilakukan selama tiga hari, yaitu pada 24-27 November, untuk menolak dan menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Semarang, Aktual.com – Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah Frans Kongi, menjelaskan PP Pengupahan Nomor 78 tahun 2015, merupakan aturan yang adil untuk diterapkan sebagai acuan penetapan pengupahan setiap tahun. Aturan tersebut juga bisa menstabilkan nilai upah buruh yang selama ini terus naik.

Frans Kongi menerangkan, PP tersebut nantinya bisa menjauhkan kepentingan politik dalam menentukan upah bagi buruh, khususnya di 35 kabupaten/kota di Jateng.

“Karena selama ini banyak walikota dan bupati yang seenaknya menetapkan kenaikan upah tanpa melihat dampak ekonomi yang timbul di sektor industri,” jelas Frans Kongi di Semarang, Selasa (24/11).

Sedangkan para buruh menolak PP tersebut, karena mereka merasa tidak lagi dilibatkan dalam perhitungan upah.

“Dalam PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, inflasi plus pertumbuhan ekonomi dalam paket kebijakan jilid IV, peran buruh ditiadakan karena sudah ditentukan inflasi data BPS, pertumbuhan ekonomi data BPS,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, beberapa waktu lalu.

Alasan lain, karena dasar upah dalam perhitungan formula upah baru masih rendah. Sebut saja, untuk Jakarta dengan upah minimum provinsi Rp2,7 juta masih rendah dengan para tenaga kerja yang dikirimkan ke luar negeri seperti Malaysia dengan Rp3,2 juta, lalu Filipina dengan upah Rp3,6 juta, dan Thailand Rp3,4 juta.

“Kalau berdasarkan 84 item komponen hidup layak (KHL) seluruh Indonesia jadi Rp3,7 juta baru bisa diskusikan inflasi plus pertumbuhan ekonomi,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh: