Di muka Kongres Amerika Serikat, dalam kunjungan pertamanya ke negeri ini (16 Mei-3 Juni 1956), Bung Karno dengan kepercayaan diri yang tinggi berpidato menguraikan Pancasila. Setiap sila disebutkan, hadirin bertepuk riuh diakhiri dengan standing ovation yang panjang. Tampak di sana, betapapun rumusan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia sendiri, kandungan nilainya bisa diterima secara universal.
Keberanian Bung Karno mengampanyekan Pancasila pada dunia itu kembali disampaikan dalam pidatonya di depan PBB, 30 September 1960, yang berjudul “To Build the World Anew”. Ia menyangkal pendapat seorang filosof Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologis. “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.”
Selanjutnya ia katakan bahwa Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu; tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.”
Lantas ia simpulkan, “Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.”
Russel mengomentari pidato Bung Karno itu dalam suatu harian di Inggris dengan menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif dari ideologi dunia dan menyebut Soekarno sebagai Great Thinker in the East. (Achdiat K. Mihardja (2005: 79).
Tujuh puluh tahun setelah para pendiri bangsa menggagas Pancasila sebagai dasar falsafah berbangsa dan bernegara, hari ini adalah momen reflektif bagi bangsa Indonesia untuk menilai apakah falsafah tersebut masih relevan atau telah diusangkan (outlived) oleh krisis multidimensional yang melanda negeri?
Telah berlalu masa yang panjang ketika kekayaan dan keindahan negeri ini tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsyafan berbudi.
Apakah ini semua ditimbulkan oleh cacat inheren dari falsafah Pancasila, atau justru merupakan akibat pelalaian dan penodaan nilai-nilai Pancasila? Untuk itu marilah kita lihat kecenderungan utama dalam perkembangan globalisasi dan implikasinya bagi kehidupan umat manusia, serta bagaimana daya antisipasi Pancasila dalam menjawab tantangan ini.
Globalisasi dan Implikasi Ideologisnya
Globalisasi modern dan pasca-modern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Keberadaan teknologi satelit, yang kemudian disusul oleh penemuan fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi dan telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia yang melampaui hambatan-hambatan ruang dan waktu.
Dengan berbagai penemuan mutakhir dalam bidang komunikasi dan informatika, dunia mengalami arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Yang dimaksud dengan globalisasi dini, seperti kata Anthony Giddens (1990), ”adalah intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitupun sebaliknya”.
Globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Berhembus pertama kali dari pusat-pusat adidaya, globalisasi pada akhirnya menerpa semua bagian dunia, tak terkecuali negara adikuasa sendiri, meskipun dengan konsekuensi yang tak merata. Dengan perluasan, pendalaman dan percepatan globalisasi ini, lingkungan strategik yang mempengaruhi perkembangan negara-bangsa merupakan resultante dari kesalingterkaitan antar berbagai elemen terpenting dalam lingkungan global, regional, nasional, dan lokal. Dampak yang ditimbulkannya bersifat mendua, yang dikenal dengan istilah ’global paradox’: memberi peluang dan hambatan, positif dan negatif.
Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globaliasi yang didorong temuan-temuan teknologinya sendiri. Meski dalam kadar dan implikasi yang tak sama, krisis perekonomian sebagai konsekuenasi globalisasi juga melanda Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya pada awal milinium baru.
Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran glombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut Hungtington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan-kekutan global, yang setelah perang dingin berakhir, terutama datang dari kekuatan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.
Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kedaerahan. Dalam planet bumi yang dirasa kian ”mengecil”, jumlah negara bangsa justru kian bertambah. Antara 1960 dan 2006, anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur (antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60 (asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of International Football Association (FIFA).
Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan revivalisme etno-religius.
Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide-ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang-peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia. Yang paling menonjol adalah lonjakan dalam tingkat arus finansial dan kapital yang difasilitasi oleh perekonomian elektronik (economy electronic). Intensifikasi penguasaan ruang dan waktu lewat arus globalisasi berpengaruh besar bagi perilaku dunia usaha. Pergeseran modus produksi Fordisme (yang kaku dan kurang mobil) ke sistem akumulasi fleksibel (yang beroperasi dengan kelenturan dan layanan just-in-time) merupakan eksemplar bagaimana pengolalaan atas ruang dan waktu semakin signifikan dalam kapitalisme lanjut di era globalisasi ini.
Di sini lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan ”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan dunia).
Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).
Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung kemungkinan gejala ”penunggang bebasnya” (free-riders) tersendiri. Bahwa suatu organisme bisa melakukan tindakan di luar tujuan aslinya, bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan dari niat awalnya. Dalam konteks kelembagaan antarbangsa, ada beberapa institusi yang semula didirikan dengan tujuan menolong, justru digunakan untuk tujuan sebaliknya. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank. Ketika didirikan, premis kebijakannya diletakkan pada pengandaian-pengandaian John Maynard Keynes. Tetapi kemudian IMF menjadi pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi dan juga kegiatan spekulasi tingkat dunia, tanpa memperhatikan dampak tingkah lakunya.
Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun ’80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, IMF dan World Bank tidak dapat dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan hukum internasional.
Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll). Kecenderungan globalisasasi seperti itu membawa tantangan yang serius pada usaha-usaha pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Globalisasi memang meningkatkan kesadaran akan HAM di Dunia Ketiga, namun sekaligus juga memasok hambatan baru yang membuat idealisasi HAM itu sulit diimplementasikan dalam praksis pembangunan.
Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Tantangan-tantangan globalisasi pasca Perang Dingin memerlukan komitmen dan visi internasionalisme baru yang relevan dengan perkembangaan zaman. Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan praktik demokratis dalam skala transnasional untuk merespon realitas global yang saling tergantung. Problem dalam tata dunia hari ini, menurut penilaian William Connoly (1991), adalah terjadinya kesenjangan antara perkembangan waktu (temporality) dan ruang (spatiality); yakni ketidakcocokan antara realitas sosial-politik era globalisasi dengan struktur kenegaraan, antara perkembangan ekonomi yang kian merobohkan batas-batas teritorial dengan perkembangan demokrasi politik yang masih tekungkung dalam batas teritorial negara-bangsa.
Hal senada dikemukakan oleh Eric Hobsbawm, yang menilai bahwa ‘demokrasi elektoral tak dapat berfungsi secara efektif di luar unit-unit politik seperti negara-bangsa’ (Hobsbawm, 2007: 118). Negara kuat atau aktor non-negara yang punya global intent sering mengabaikan prosedur demokrasi dalam merealisasikan ambisinya. Di lain pihak, kelompok-kelompok yang marginal dalam demokrasi politik negara-bangsa, berusaha melepaskan keterkaitannya dengan demokrasi dan negara-bangsa dengan melakukan retradisionalisasi politik, seperti mengidealkan kekhalifahan.
Jika demokrasi elektoral bukanlah sarana yang efektif untuk memecahkan masalah-masalah global atau transnasional, Hobsbawm memberi isyarat tentang altenatif nonelektoral. Ia mengajukan contoh keberadaan badan transnasional seperti Uni Eropa, yang mampu berkembang menjadi struktur yang kuat dan efektif justru ketika tidak melibatkan popular electorate, melainkan melalui prosedur-prosedur permusyawaratan yang melibatkan sejumlah kecil perwakilan pemerintah anggota (Hobsbawm, 2007: 118). Dengan demikian, proses-proses demokrasi permusyawaran dalam semangat kegotong-royongan merupakan alternatif bagi pengembangan politik demokratisasi non-teritorial dari isu-isu global.
Singkat kata, intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki wawasan internasionalisme dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan, perdamaian dan keadilan dalam pergaulan antarbangsa. Hal ini menuntut perubahan paradigmatik dalam hubungan internasional dari prinsip ‘zero-sum-game’ menuju prinsip “win-win-solution”. Hal itu bisa ditempuh, antara lain, dengan cara memperluas praktik demokrasi melampaui batas-batas teritorial negara-bangsa, melalui penguatan daya-daya permusyawaratan, restrukturisasi dalam lembaga-lembaga multilateral, serta partisipasi warga bangsa dalam persoalan kemanusiaan universal.
Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat, seperti ditujukan oleh China. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, melainkan merujuk pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).
Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat. “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”