Sejumlah warga yang mengatasnamakan Kaukus Indonesia Hebat (KIH) menyerahkan laporan kepada Mahkamah Kehormatan (MKD) di Ruang Sidang MKD, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/9/2015). Laporan mereka terkait kunjungan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan ke Republik Rakyat Tiongkok (Cina) beberapa waktu lalu, menurutnya, pertemuan Zulkifli Hasan dengan para pengusaha China dalam rangka mengajak dan akan menggelar karpet merah kepada mereka agar berinvestasi di Indonesia dinilai telah menyalahi tugas dan kewenangannya sebagai anggota DPR/MPR sebagaimana diatur UU MD3.

Jakarta, Aktual.com — Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tetap menerima aduan dari Menteri ESDM Sudirman Said atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakaukan Ketua DPR Setya Novanto.

Padahal dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 Pasal 5 ayat 1 secara jelas menyebutkan, yang bisa mengadukan ke MKD atas pelanggaran kode etik adalah Pimpinan DPR atas aduan Anggota terhadap Anggota, Anggota terhadap Pimpinan DPR atau Pimpinan AKD, masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap Anggota. Tidak tercantum bahwa pejabat eksekutif seperti Menteri boleh melapor ke MKD.

Menaggapi hal tersebut, Pengamat Polhukam Lingkar Studi Strategis (Lingstra) Ryan Muhammad mengatakan jika MKD tetap beracara, melakukan sidang kode etik dewan, maka secara otomatis hasil sidang tersebut tidak sah.

“Tidak sah secara Peraturan DPR, kan bunyi di Pasal 5 nya sudah jelas. Yang bisa mengajukan pengaduan itu: Pimpinan DPR, Anggota DPR, setiap orang atau kelompok/organisasi masyarakat,” ujar Ryan saat dihubungi di Jakarta, Selasa (1/12).

Menurut Ryan, semestinya Sudirman Said (SS) mengadukan ke MKD dengan status warga negara biasa.

“Kalau SS mengadu ke MKD sebagai warga negara biasa itu benar secara peraturan MKD, tapi kalau SS mengadu ke MKD sebagai Menteri itu gak masuk legal standingnya menurut peraturan MKD,” tegas Ryan.

Sebagai informasi bahwa MKD pada pekan lalau memutuskan menerima pengaduan Menteri ESDM Sudirman Said dan menindaklanjutinya ke tahap persidangan. Keputusan itu diambil setelah MKD mendengarkan penjelasan dari ahli bahasa hukum, Yayah Bachria.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan