Jakarta, Aktual.com — Agar kinerja Kejaksaan Agung dibawah komando Muhammad Prasetyo tidak jalan ditempat, Presiden Joko Widodo disarankan mencopot Jaksa Agung yang memiliki latar belakang politikus asal Partai Nasdem itu.
Demikian disampaikan Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi ketika dimintai pendapatnya terkait banyak kasus yang sampai saat ini belum tuntas di Kejaksaan Agung, Selasa (8/12).
“Kalau dari polical will jaksa agungnya saja, mau tidak mengerjakan kasus yang mandek seperti kasus mobil listrik dan Yayasan Supersemar. Tapi saat ini, jaksa agung tidak begitu peduli dengan kasus-kasus yang saat ini ditangani Kejagung. sehingga terbengkalai karena faktor latar belakang jaksa agung dari partai,” ujar Uchok ketika dihubungi, Selasa (8/12).
Terlebih, sambung Uchok, jaksa agung saat ini tidak ‘greget’ dalam melakukan pemberantasan korupsi. Apalagi, selama ini terlihat kinerja jaksa agung seperti main-main. “Banyak kasus yang menguap begitu saja, kemudian ditinggal. Ini kan hukum, bukan barang untuk menginjak kanan-kiri,” kata dia.
Padahal, sambung dia, seperti kasus pengadaan 16 mobil listrik untuk keperluan operasional penyelenggara APEC di Bali pada tahun 2013 sudah ada dugaan merugikan keuangan negara sebesar Rp 32 miliar. “Tapi yaitu tadi, banyak mandek di Kejagung,” ujar dia.
Berdasarksan catatan Indonesia Corruption Watch, kinerja jajaran kejaksaan dibawah Jaksa Agung HM Prasetyo dalam upaya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi di internal Kejaksaan sangat tidak memuaskan. Penilaian ketidakpuasan ini didasari pada sejumlah indikator.
Pertama, tidak terpenuhinya pencapaian pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015. Dari 17 poin atau pekerjaan rumah dalam Stranas PPK yang berkaitan langsung dengan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dalam pantauan ICW belum ada poin dalam Stranas PPK yang dipenuhi secara memuaskkan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Mayoritas atau 12 pekerjaan rumah Kejaksaan dalam pelaksanaan Inpres 7 Tahun 2015 adalah dalam status belum sepenuhnya berjalan. Sebanyak 5 pekerjaan lainnya tidak jelas perkembangannya (Terlampir).
Dalam poin-poin pada Stranas PPK 2015, terlihat jelas bahwa Pemerintahan Jokowi-JK berorientasi pada pencegahan dan pembenahan sistem, termasuk untuk Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini, perbaikan sistem berbasis teknologi informasi menjadi sangat krusial untuk Kejaksaan Republik Indonesia, namun platform berbasis teknologi informasi yang ada di laman resmi Kejaksaan Agung sekarang, sesungguhnya sudah dikembangkan sejak sebelum era kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Kedua, tunggakan eksekusi Aset Yayasan Supersemar dan Piutang Uang Pengganti Hasil Korupsi. Putusan Mahkamah Agung terkait perkara perdata Aset Yayasan Supersemar milik keluarga Soeharto sudah keluar sejak September 2015, namun hingga saat ini eksekusi atas aset Yayasan Supersemar sebesar Rp 4,4 triliun belum juga dilakukan. Selain itu, bedasarkan data BPK tahun 2014, Kejaksaan Republik Indonesia masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp11.880.833.623.374,80, US$ 215,762,042.30, dan Sin$ 34,951.6 yang belum dieksekusi dari putusan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Padahal dalam Inpres 7 Tahun 2015, kejaksaan memiliki target tersetorkannya minimal 80% uang pengganti dari perkara tindak pidana korupsi yang diputus oleh pengadilan (inkcraht) ke kas negara.
Ketiga, kerja jajaran kejaksaan dan Satgassus Kejaksaan Agung tidak maksimal dalam penanganan perkara korupsi. Di awal pembentukannya, Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor) diliputi harapan besar sebagai tandem KPK dalam menyelesaikan penanganan perkara korupsi. Berdasarkan penelusuran media, per April 2015, Satgassus Kejaksaan Agung mengklaim telah menyidik 102 kasus korupsi, baik dari perkara mangkrak pada 2014 maupun perkara baru tahun 2015.
Namun jumlah yang disampaikan tersebut terkesan masih sebatas pencapaian secara kuantitas karena secara kualitas tidak banyak perkara korupsi high profile yang berhasil digarap Satgassus Tipikor ini. Belum ada satupun perkara korupsi kakap yang dihentikan (SP3) kemudian dibuka kembali oleh Kejaksaan. Beberapa perkara yang digadang-gadang akan diselesaikan oleh tim ini adalah korupsi UPS DKI Jakarta, namun perkembangan penanganan perkara tersebut belum juga tuntas hingga sekarang. Penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara justru menjadi tidak jelas sejak ditangani oleh Kejaksaan Agung karena tidak ada satupun tersangka yang ditetapkan dalam perkara ini. Adapun perkara korupsi yang berhasil diselesaikan oleh Satgassus Tipikor ini, sebagian besar merupakan perkara korupsi di tingkat daerah, dan salah satu yang menarik perhatian publik adalah perkara korupsi Trans Jakarta yang menjerat Udar Pristono, mantan Kadis Perhubungan DKI Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu