Indonesia Mining Association (IMA), menyarankan agar pada revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemurnian mineral diserahkan kepada Kementerian Perindustrian, atau tidak lagi diatur oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ketua IMA, Martiono Hadianto mengatakan bahwa pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri (smelter) harus dibedakan berdasarkan karakteristik komoditinya serta tidak mengabaikan aspek komersial. Aspek itu dipengaruhi oleh kesiapan energi, infrastruktur, insentif fiskal dan perizinan.
“Pengaturan terhadap pemurnian dilakukan oleh Kementerian Perindustrian. Ini karena UU Perindustrian sesuai dengan nomenklatur PBB yang menyatakan smelter termasuk kategori industri,” kata Martiono dalam konferensi persnya di Jakarta, Kamis (10/12).
Menurut dia, aspek komersial dalam pembangunan smelter terbilang cukup penting.
Martiono mencontohkan, kajian pembangunan smelter nikel cukup ekonomis atau visible pada 2014 lalu. Kajian itu berdasarkan harga komoditas nikel yang sedang melambung. Kini harga nikel merosot hingga 50% yang membuat smelter itu tidak visible lagi.
“Harga turun jauh 50% dari harga di 2014. Mereka berhenti,” ujarnya.
Lebih lanjut, masih kata Martiono, pembangunan smelter hendaknya tidak dibatasi oleh waktu seperti yang dilakukan pemerintah dalam Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014. Pasalnya, pemerintah tidak mempertimbangkan aspek komersial dalam menetapkan kebijakan tersebut.
“Kami mengusulkan masukkanlah parameter ekonomi,” lanjut dia.
Direktur Eksekutif IMA, Syahrir AB menambahkan UU Minerba menyatakan pembangunan smelter lima tahun setelah diundangkannya UU tersebut alias pada 2014. Namun sayangnya dalam UU maupun peraturan pelaksana dibawahnya tidak memuat ketentuan mengenai kelayakan ekonomis.
“Yang ada secara teknis bisa dilakukan dan pasokan bahan baku cukup. Kalau secara ekonomis tidak bisa dilaksanakan lalu bagaimana,” tutup Syahrir.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby