Aktivis dari Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) menggelar aksi unjuk rasa di halaman kantor Freeport, Plaza 89 Kuningan, Jakarta, Rabu (26/11). Mereka menuntut agar pemerintah tidak memperpanjang kontrak dengan Freeport.

Jakarta, Aktual.com – Masuknya Freeport ke Indonesia, ikut andil membentuk pola kebijakan pemerintah mengelola tambang dengan tidak berpihak kepada rakyat.

Pendapat itu disampaikan pegiat lingkungan dari Sajogyo Intitute Siti Maimunah, saat diskusi bertema ‘Kasus Freeport dan Penataan Ulang Pengelolaan Sumber Daya Alam’, di Senayan, Jakarta, Jumat (11/12).

Maimunah memulai penuturannya. Kata dia, sekitar tahun 1960-an, setidaknya ada empat UU yang kemudian menjadi kiblat bagi kebijakan pemerintah mengelola kekayaan alam Indonesia yang bersifat eksploitatif.

Yaitu UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 5 tahun 1967 tentang Kehutanan dan UU No 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum.

Kebijakan itu, tutur Maimunah, sebenarnya meneruskan model kolonial tahun 1870 yang meletakkan penguasaan tanah sebesar-besarnya oleh negara. Padahal di jaman kolonial, kebijakan itu menyebabkan jumlah penduduk miskin di Jawa meningkat. Oleh pemerintahan kolonial saat itu, para penduduk miskin di Jawa kemudian ‘dipindahkan’ melalui program kolonisasi di tahun 1905. “Program yang belakangan diadopsi Indonesia dengan nama transmigrasi,” kata dia.

Semangat kolonial di tahun 1870 di mana negara menguasai tanah, ternyata terus dipelihara Orde Baru sampai berlakunya kebijakan Otonomi Daerah. Saat itu, Departemen Kehutanan bahkan sampai bisa menguasai 70 persen luas daratan Indonesia.

Lalu di mana sebenarnya pengaruh Freeport atas kebijakan pengelolaan tambang yang tidak berpihak ke rakyat?

Maimunah membeberkan, titik itu terjadi saat Presiden Soeharto menandatangani Kontrak Karya Freeport sebelum UU Pertambangan disahkan. Dan juga sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan di tahun 1969.

“UU Pertambangan yang baru disahkan di tahun 1967 ini mengekor Kontrak Karya Freeport,” ujar Maimunah.

Sejak itu, Bumi Pertiwi makin terkonsentrasi kepemilikannya untuk melayani sebesar-besarnya korporasi asing. “Seperti Freeport, Vale/Inco, Rio Tinto, Newmont dan lainnya,” kata Maimunah.

Artikel ini ditulis oleh: