Jakarta, Aktual.co — Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan sektor industri sedang menghadapi kondisi defisit energi.
“Sektor industri memang konsumen terbesar energi, pangsanya rata-rata sekitar 42 persen tiap tahun. Tapi tetap kekurangan karena kebanyakan sumber energi diekspor pemerintah,” kata Ahmad dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (26/5).
Dia menjelaskan, produksi berbagai jenis energi nasional pada dasarnya dapat mencukupi kebutuhan untuk sektor industri, namun sebagian besar hasilnya terpaksa diekspor karena sejumlah permasalahan infrastruktur.
Selain itu, sumber energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sektor industri ternyata merupakan komoditas impor dari luar negeri, tukasnya.
Dengan kata lain, defisit energi tidak hanya disebabkan kurangnya produksi, tapi juga akibat hasil energi tersebut diperuntukkan demi kepentingan ekspor, sehingga untuk pemenuhan dalam negeri harus impor.
“Karena terbatasnya smelter, maka sumber daya energi mentah diekspor. Kemudian sektor industri memenuhi kebutuhan mereka dengan mengimpor energi dalam bentuk siap pakai,” ujarnya menjelaskan.
Ahmad memaparkan, konsumen energi nasional selain sektor industri antara lain rumah tangga mencapai rata-rata 11 persen, sektor komersil 4,3 persen, transportasi 37 persen, dan sektor lainnya sekitar tiga persen.
Pada sektor industri sendiri, sumber energi terbesar yang digunakan antara lain bahan bakar minyak (bbm) sekitar 28 persen, gas 26 persen, dan batu bara juga sekitar 26 persen.
“Sektor industri hanya mendapat tujuh persen batu bara dari dalam negeri. Karena 79 persen untuk pasar ekspor, dan 14 persen sisanya digunakan untuk pembangkit listrik,” tutur Ahmad.
Sedangkan pada sumber energi berupa gas, sebesar 47,8 persen untuk kepentingan ekspor, sementara untuk pemenuhan liquid petroleum gas (lpg) harus diperoleh dari impor, ujarnya menambahkan.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka