Surabaya, Aktual.com – Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Ramlan A Surbakti menilai proses penyelenggaraan Pilkada Serentak masih belum demokratis, karena delapan ukuran untuk evaluasi penyelenggaraan pilkada serentak juga belum tercapai.

“Saya menawarkan delapan ukuran yang semuanya belum tercapai secara maksimal sesuai harapan,” katanya saat berbicara dalam ‘Seminar Refleksi Akhir Tahun (Refleksi Bidang Politik, Hukum dan Ekonomi)’ di Surabaya, Selasa (15/12).

Ukuran pertama yakni pengaturan terkait kepastian hukum yang masih belum terjamin. Kedua, persaingan yang bebas dan adil terkait calon karena proses penentuan calon belum demokrasi, bahkan belum sesuai Hak Asasi Manusia (HAM).

“Awalnya kerabat petahana dilarang jadi calon, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan sekarang tidak ada peraturan lebih lanjut, padahal hal ini juga dinilai melanggar HAM, sehingga seharusnya pembuat Undang-Undang (UU) harus demokratif,” tuturnya.

Ketiga, sesi partisipasi masyarakat. Dalam segi pemantauan pelaksanaan pemilu di Indonesia masih belum ada, hanya ada lembaga rekapitulasi hitung cepat atau quick-count serta dari media yang menyoroti.

“Yang keempat terkait penyelenggara pilkada. Selama ini yang disoroti hanya peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pusat, sedangkan di daerah seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS),” jelasnya.

Menurut dia, pejabat daerah dalam pilkada tersebut perlu disoroti karena apakah ada kaitannya dengan politik uang yang melibatkan petugas.

“Jumlah suara tidak sah juga menjadi sorotan karena dari beberapa pemilihan, seperti pilihan legislatif, plihan presiden, serta saat ini pilkada serentak angka golput relatif tidak turun sebesar 10 persen, sehingga KPU harus mengadakan evaluasi dan penelitian terkait penyebabnya,” paparnya.

Politik uang, lanjutnya sudah bukan menjadi rahasia lagi dalam setiap pilkada, sehingga bisa berpengaruh terhadap jumlah calon menjadi turun, padahal seharusnya bisa meningkat.

“Penegakan hukum yang adil dan tepat waktu. Adil itu khusus pengadilan, sedangkan tepat waktu artinya kasus pelanggaran pemilu harus selesai sebelum KPU mengumumkan hasil pemilu,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: