Jakarta, Aktual.com – Pengamat perkotaan Yayat Supriatna menilai keinginan Pemprov DKI untuk menekan penggunaan air tanah di Jakarta sejauh ini masih sulit. Sebab di satu sisi, Pemprov DKI ingin penggunaan air tanah berkurang. Tapi di sisi lain solusinya yakni peningkatan layanan pasokan air melalui pipa juga masih minim.
“Sekarang layanan air pipa hanya 38-40 persen saja,” ujar dia, saat dihubungi Aktual.com, Rabu (16/12).
Kondisi itu diperparah dengan tingginya kebocoran air pipa yang mendekati 50 persen. Ditambah lagi pembangunan dalam skala besar di Jakarta cukup massif, yang tentunya membutuhkan lebih banyak lagi air. Menurut Yayat, sebelum ada upaya meningkatkan pelayanan kebutuhan yang lebih besar, jangan harap penggunaan air tanah akan berkurang.
“Persoalan terbesar adalah sistem jaringan. Saat Pemprov DKI bikin kontrak dengan Palyja kan mereka harus memperbanyak jaringan (pipa). Karena ngga ada guna persediaan air banyak tapi jaringan tidak bertambah,” ujar dia.
Mengenai penindakan-penindakan yang dilakukan terhadap pengusaha atau warga yang nakal ‘mencuri’ air tanah, kata dia, itu sah saja dilakukan. Namun diingatkannya lagi, kalau Pemprov DKI belum bisa meningkatkan layanan air pipa, semua upaya itu sia-sia saja. “Mereka tentunya punya alasan untuk ambil air tanah karena DKI belum mampu beri layanan maksimal. Ibaratnya orang masih bisa cari-cari alasan,” kata dia.
Dari informasi yang dihimpun, pada tahun 2010, data Dinas Pelayanan Pajak mencatat penggunaan air tanah Jakarta untuk komersial 22 juta meter kubik per tahun. Jika penggunaan komersial 30 persen dari penggunaan domestik, maka kasar pemanfaatan air tanah Jakarta 73 juta meter kubik per tahun.
Penggunaan air tanah secara massif, diketahui jadi penyebab utama turunnya permukaan tanah (land subsidence) di Jakarta. Data Dinas Industri dan Energi DKI Jakarta menyebutkan 60 titik tanah di Jakarta alami penurunan dalam penelitian sejak 2002-2010.
Jakarta Utara yang terparah. Rata-rata penurunan di pesisir utara Jakarta setiap tahunnya antara 7,5 hingga 14 cm. Lokasinya antara lain di Mutiara Baru, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, dan Ancol. Jakarta Barat juga alami hal serupa, seperti di Cengkareng Barat dengan penurunan sekitar 65 cm. Jakarta Timur penurunan tanah hingga 47 cm. Sedangkan Jakarta Pusat alami penurunan sekitar 15 cm.
Artikel ini ditulis oleh: