Jakarta, Aktual.com — Permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim perlu diantisipasi. Terlebih para ahli menyebutkan, pada 2050 akan ada penaikan permukaan air laut setinggi 90 CM sehingga bisa menenggelamkan 2.000 pulau kecil di Indonesia.
Staf ahli bidang kebijakan publik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Achmad Poernomo mengatakan, apabila kondisi tersebut terjadi, maka akan ada 2.000 pulau yang tenggelam dan 42 juta rumah di pinggir pantai akan hilang.
“Penaikan muka air laut merupakan salah satu risiko bencana yang timbul dari dampak perubahan iklim,” kata Pernomo di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (16/12).
Menurut dia, dampak lain yang ditimbulkan perubahan iklim adalah adanya ketidakpastian musim dalam kegiatan penangkapan ikan serta perubahan migrasi ikan dan jumlah ikan yang terdampar semakin banyak.
Bencana dari dampak perubahan iklim itu, kata dia, perlu ditanggulangi dan diantisipasi oleh pemerintah dan masyarakat dengan mendukung program pembangunan secara berkelanjutan.
“Menteri Kelautan dan Perikanan sudah menulis surat memohon kepada seluruh kepala daerah untuk mengelola sumber daya secara berkelanjutan,” katanya.
Ketua Magister Manajemen Bencana UGM Sudibyakto mengatakan, hampir 85 persen bencana di Indonesia sangat terkait dengan fenomena perubahan iklim.
Meskipun memiliki tingkat risiko bencana yang sangat tinggi, kata dia, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang penanggulangan bencana masih sangat terbatas.
“Jumlah SDM dalam bidang penanggulangan bencana tidak sebanding dengan risiko bencananya,” kata Sudibyakto.
Menurut dia, guna mengatasi adanya ketimpangan antara ancaman bencana dan ketersediaan SDM bidang menajemen bencana itu, Indonesia diperkirakan dalam kurun waktu 15 tahun ke depan membutuhkan SDM manajemen bencana sebanyak 1.500 sarjana, 250 magister, dan 50 doktor.
Selain SDM, kata dia, komitmen pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana untuk program penanggulangan bencana masih sangat terbatas bahkan belum masuk skala prioritas.
“Kondisi itu menyebabkan program dan kegiatan pengurangan risiko bencana di daerah tidak dapat terencana dan terlaksana dengan baik,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu