Jakarta, Aktual.com — Penetapan Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) tahun 2010 oleh KPK, diharapkan dapat membuka kotak pandora pelanggaran yang terjadi selama ini di pelabuhan tersebut.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Muhammad Budyatna meminta KPK tidak hanya fokus pada satu masalah korupsi pengadaan crane, namun juga segera mengembangkan kasus perpanjangan kontrak PT Pelindo II dengan perusahaan asal Hutchinson Port Holding (HPH) terkait pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
“Saya melihat kasus ini sama seperti kasus PT Freeport Indonesia yang menyeret Ketua DPR Setya Noanto dengan kasus papa minta saham. Masalah sebenarnya bukan pada korupsi pengadaan crane yang nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan dugaan korupsi besar di balik perpanjangan kontrak PT Pelindo II dengan HPH dalam mengelola PT JICT,” kata Budyatna saat dihubungi, Sabtu (19/12).
Dia pun yakin bahwa dibalik perpanjangan kontrak JICT sebelum habis waktu, ada tangan-tangan ‘setan’ sehingga kontrak tersebut bisa diperpanjang sebelum waktunya. “Bedanya kalau dalam kasus PT Freeport, Setya Novanto kan dikabarkan baru minta bagian, kalau untuk kasus perpanjangan kontrak JICT ini ada yang sudah dapat bagian. Karena sama seperti PT Freeport, kalau belum ada yang dapat bagian, maka tidak mungkin kontrak yang merugikan negara itu bisa diperpanjang,” ujar dia.
Karena itu, dia menekankan agar KPK serius menangani kasus ini, sebab akan ada tersangka-tersangka lainnya. Selama ini menurutnya, banyak pejabat negara yang secara terang-terangan melindungi RJ Lino sampai-sampai hal ini menyebabkan Kabareskrim Budi Waseso terpental dari jabatannya.
“Saya harap jangan hanya kasus korupsi crane yang bisa dibongkar KPK dan jangan hanya RJ Lino yang diperiksa dan ditetapkan jadi tersangka, tapi juga pihak-pihak yang selama ini ikut melindungi dirinya pun bisa diperiksa. Paling tidak KPK bisa memanggil dan memeriksa orang-orang yang selama ini selalu dihubungi Lino untuk dihubungi,” ujar dia.
Sempat diberitakan, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan bahwa dalam kasus Pelindo II sudah terjadi bancakan dengan pihak asing. Saham Indonesia yang katanya sebesar 51 persen pun hanya omong kosong karena faktanya saham Indonesia hanya 25 persen.
Oleh karena itu, dirinya mendukung penuh penggunaan hak angket oleh DPR, karena tanpa angket maka perilaku RJ Lino tidak akan pernah terungkap ke publik. “Tanpa angket, kasus ini tidak akan terungkap.Kabareskrim saja ditendang sama dia,” sebut dia beberapa waktu lalu.
Fahri pun mengingatkan kepada masyarakat akan upaya-upaya yang terus dilakukan untuk memperlemah DPR diwaspadai. Banyak pihak menurutnya tidak ingin DPR kuat agar bisa melakukan fungsi dan tugasnya dengan baik.
“Kalau DPR kuat maka DPR bisa melacak bagaimana eksekutif yang tendensinya memang korup bisa diketahui.”
“Terminologi kekuasaan itu ada pada eksekutif, karena memang kekuasaan itu adanya di eksekutif. Makanya kita perlu memperkuat DPR ini agar semua permainan dan rahasia-rahasianya di eksekutif bisa terbuka,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang
Wisnu