Jakarta, Aktual.com — Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pilkada serentak sangat minim. Rata-rata hanya mencapai 50 persen dari total daftar pemilih tetap.
Menurut Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surbaya Krisnugroho masyarakat mulai kapok dengan janji-janji politik kepala daerah.
“Pilkada serentak memang sukses, tapi masyarakat agaknya tidak antusias. Mungkin ada faktor X, tapi sepertinya harapan akan perubahan yang mereka impikan tidak terpenuhi,” saat dihubungi, Minggu (20/11).
Ia mengemukakan hal itu menanggapi dominasi petahana di Indonesia hingga 70 persen, namun hal itu diikuti penurunan partisipasi pemilih. Misalnya, Tri Rismaharini unggul di Surabaya dengan 86,34 persen, namun pemilih hanya 50,48 persen.
Di Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menang dengan 88,96 persen, namun pemilih hanya 59,47 persen. Atau, calon tunggal di Blitar unggul dengan 84,90 persen, namun pemilih hanya 57 persen.
Menurut Krisnugroho, mereka yang tidak memilih itu bukan berarti tidak suka dengan petahana, namun mereka sudah yakin petahana akan terpilih, tapi mereka memilih menjadi “non-votter” untuk menyuarakan keinginan akan adanya perubahan.
“Karena itu, tantangan petahana ke depan adalah membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat berharap petahana membuat program yang berpengaruh kepada mereka. Jadi, program petahana jangan fisik lagi, tapi program memberdayakan masyarakat,” katanya.
Baginya, dominasi petahana hingga 70 persen dalam Pilkada Serentak 2015 di seluruh Indonesia itu sesungguhnya menunjukkan kuatnya jaringan yang dibangun para petahana selama lima tahun silam.
“Karena itu, mereka tak perlu susah payah melakukan pengenalan seperti calon lain, sebab elektabilitas mereka sudah terbentuk,” katanya.
Bahkan, jaringan yang dimiliki itu dijadikan strategi kampanye oleh sebagian petahana melalui sejumlah program pemerintah yang diatasnamakan mereka. “Mereka sidak sebagai pejabat dan calon sekaligus,” katanya.
Tentu, hal itu tidak berlaku untuk petahana dengan perolehan suara cukup tinggi seperti Risma atau Anas. “Tapi, hal terpenting adalah mereka menangkap suara yang tak disuarakan untuk dijadikan program dalam kepemimpinan “periode kedua” agar apatisme tidak semakin meningkat.
Artikel ini ditulis oleh: