Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri) dan Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti (kanan) meninjau stok beras di Gudang Nomor 28 di Bulog Divre Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (2/10). Pemerintah menggelar operasi pasar beras premium secara serentak di sejumlah kota besar di Indonesia untuk mengendalikan harga menjelang musim paceklik dengan harga Rp8.700 - Rp9.700 per Kg tergantung kualitasnya. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/pras/15.

Jakarta, Aktual.com — Forum Pemuda Nasional (Forpenas) menuntut Presiden Jokowi agar memecat Menteri BUMN Rini Soemarno karena diduga telah melakukan kerugian negara hingga Rp28 triliun.

Sejarah ekonomi politik Indonesia mengajarkan bahwa investasi asing yang direkayasa oleh asing di Indonesia telah membuat posisi ekonomi Indonesia nampak besar, namun semu karena kepemilikan ‘kue’ pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berada di tangan Indonesia. Hal itu terbukti dalam kasus perpanjangan kontrak Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding (HPH).

Proses perpanjangan kontrak dengan HPH telah dirintis oleh Dirut Pelindo II sejak 27 Juli Tahun 2012, dan izin prinsip tersebut dikeluarkan Meneg BUMN pada tanggal 9 Juni 2015. Padahal, menteri-menteri yang lain, Meneg BUMN dan Menteri Perhubungan pada pemerintahan sebelumnya, maupun Menteri Perhubungan yang saat ini menjabat, telah melayangkan surat menolak perpanjangan kontrak tersebut.

“Meneg BUMN Rini Soemarno berdalih bahwa izin prinsip yang dikeluarkannya mensyaratkan kepemilikan saham Pelindo II harus 51% dan harus mematuhi ketentuan UU 17 tahun 2008 yang memisahkan fungsi regulator dan operator dan hasil Panja Aset BUMN, serta putusan Mahkamah Konstitusi (MA), khususnya terkait kerjasama BUMN,” kata Koordinator Forpenas, Ryan Rehalat, dalam keterangannya, Senin (21/12).

Dia menambahkan, kontrak final antara Pelindo II dan HPH sendiri ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 yang telah dinotariatkan (komposisi saham Pelindo II sebesar 48,9%, kopegmar 0,10%, HPH 51%). Sebelumnya, pada juni 2015 Pelindo II menagih pembayaran upfront fee dari HPH sebesar USD215 Juta. Menurut surat HPH dan Pelindo II, nilai USD15 Juta merupakan tambahan di luar perhitungan DB sebesar USD200 juta. Tambahan tersebut merupakan arahan Meneg BUMN.

Dalam perspektif hukum, selain terindikasi adanya tindak pidana yang merugikan negara, sikap Meneg BUMN dan Dirut Pelindo II RJ Lino, merupakan bentuk perlawanan terhadap hukum yang berlaku.

“Dalam perspektif politik, ketidakpatuhan ini bisa menjadi benih dari carut marutnya politik nasional dan membuka jalan melemahnya kewibawaan pemerintah terhadap kekuatan kapital. Kondisi seperti ini harusnya membuka mata Presiden RI bahwa ada pihak-pihak yang seharusnya membantu terlaksananya amanat konsititusi namun yang terjadi adalah sebaliknya,” kata dia.

Sementara dalam perspektif ekonomi, sambungnya, ditemukan hal yang tidak layak. Menurut perjanjian kontrak 1999-2019, memang ada technical know how, tetapi di lapangan tidak ditemukan kenyataan adanya keterampilan atau teknologi yang dialaihkan.

Maka dari itu, pihaknya meminta aparat penegak hukum menindak Rini Soemarno yang telah membuat perpanjangan kontrak Pelindo II dengan Hutchison Port Holding (HPH) karena tidak sesuai dengan konstitusi dan juga merugikan keuangan negara.

“Meminta DPR agar menggunakan Hak Menyatakan Pendapat jika presiden tidak berani mencopot dan memecat Rini Soemarno.”

Artikel ini ditulis oleh: