Madura, Aktual.com — Upaya pemerintah menarik kunjungan wisatawan ke Pulau Madura pada musim karapan sapi selama ini masih terkendala praktik kekerasan yang dilakukan oleh pemilik sapi karapan saat festival budaya itu berlangsung.

Hal itu terlihat pada ajang festival karapan sapi yang digelar di Stadion Soenarto Hadiwidjojo Pamekasan, 1 November 2015, sangat sedikit wisatawan mancanegara yang datang menyaksikan festival budaya tahunan itu.

Padahal, dulu, ajang festival karapan sapi se-Eks Karesidenan Madura yang memperebutkan Piala Bergilir Presiden RI itu, menjadi ajang bergengsi. Sebab selain unik, karapan sapi itu, juga hanya satu-satunya di dunia dan menjadi budaya khas masyarakat Madura.

“Praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi memang menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Madura dan pemerintah daerah yang ada di Madura,” kata Bupati Pamekasan, Achmad Syafii, kepada wartawan.

Praktek kekerasan yang dilakukan oleh joki karapan sapi, justru akan menjadi kecaman masyarakat luar negeri dan dunia internasional, karena kekerasan dalam bentuk apapun merupakan perbuatan terlarang.

Selain praktik kekerasan, yang juga menjadi persoalan bagi daerah untuk menarik minat wisatawan mancanegara adalah jadwal pelaksanaan yang belum pasti.

“Memang, sudah ada pembicaraan untuk menetapkan tanggal tetap pelaksanaan karapan sapi setiap tahunnya, tapi masih belum terlaksana,” kata Syafii.

Usulan HMI Usulan menghapus praktik kekerasan dalam lomba karapan sapi pertama kali disuarakan oleh aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan yang kala itu dipimpin oleh mahasiswa asal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sulaisi Abdurrazaq.

HMI merasa tergugah untuk menyuarakan penghapusam praktik kekerasan dalam pelaksanaan lomba karapan sapi karena pada pelaksanaannya dinilai sudah menyimpang dari nilai-nilai keagamaan, yakni menyiksa binatang.

Karapan sapi yang dipraktikkan para pemilik sapi kala itu, dengan menggarukkan paku ke pantat sapi, memoles mata sapi dengan cabai dan balsam sebelum sapi-sapi itu diadu agar larinya kencang, serta menyiram luka-luka sapi dengan spiritus dan cabai seusai diadu dengan tujuan agar setelah diadu lagi, lari sapi lebih kencang dari sebelumnya.

HMI menilai, pelaksanaan karapan sapi dengan kekerasan itu telah menyimpang dari praktik karapan sapi seperti yang diperkenalkan Pangeran Katandur, salah seorang pangeran asal Keraton Sumenep.

“Dalam sejarahnya dulu, karapan sapi itu kan menggunakan ‘pak-kopak, bukan paku, seperti yang digunakan para pengerap saat ini,” kata Sulaisi.

“Pak-kopak” terbuat dari bambu yang dibilah dua dan dipukulkan ke pantat sapi, sehingga terdengar suara nyaring, dan dengan suara itu, sapi beradu cepat dengan pasangan sapi lainnya, namun tidak membuat pantat sapi luka dan tidak terkesan menyiksa seperti menggunakan paku.

Di kalangan masyarakat perdesaan di Madura, alat ini juga sering digunakan petani untuk mengusir kerumunan burung yang hinggap di lahan tanaman padi mereka.

Awalnya, aspirasi HMI agar menghentikan praktik kekerasan itu tidak diindahkan. Bahkan HMI kala itu dituding sebagai organisasi yang hendak menghapus hazanah budaya Madura.

Organisasi mahasiswa Islam yang didirikan Lafran Pane tersebut juga banyak menuai kecaman dari kalangan pemilik sapi karapan, termasuk sebagian masyarakat Madura yang tidak paham akan asal mula keberadaan karapan sapi.

“Padahal selain untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, aspirasi kami untuk menghentikan praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi di Madura ini, juga dimaksudkan untuk mengembalikan budaya asli Madura, yakni tanpa kekerasan dengan menggunakan pak-kopak tadi,” ujar Sulaisi.

Namun, berkat dukungan para Ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, suara untuk menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi semakin kuat.

Aspirasi HMI yang didukung oleh para Ulama itulah yang pada akhirnya memicu kelompok organisasi keagamanaan lainnya bergerak menggelar aksi, memprotes praktik kekerasan dalam karapan sapi.

Gerakan ini ternyata membuahkan hasil, yakni dengan dikeluarkanya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Karapan Sapi yang salah satu isinya melarang adanya praktik kekerasan.

Hanya saja, Impres Nomor 2 Tahun 2013 itu tidak terlaksana dengan baik, karena praktek kekerasan masih saja terjadi, kendatipun mulai berkurang, yakni tidak separah sebelumnya.

Butuh Waktu Kepala Bakorwil IV Pamekasan, Madura Asyhar menyatakan butuh waktu dan komitmen semua pihak untuk menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanan karapan sapi di Pulau Garam Madura.

“Pemerintah memang telah memerintahkan untuk menghapus praktik kekerasan sapi pada ajang festival karapan sapi di Madura. Namun demikian, dalam tingkat pelaksanaan belum sepenuhnya bisa terlaksana,” kata Asyhar saat menemui sekelompok warga yang memprotes praktik kekerasan karapan sapi itu di Bakorwil IV Pamekasan, belum lama ini.

Oleh sebab itu, sambung dia, Bakorwil masih terus melakukan koordinasi lebih lanjut dengan para kepala daerah se-Madura, serta para pengurus paguyuban karapan sapi di empat kabupaten di wilayah itu.

Asyhar mengakui, pada pelaksanaan karapan sapi memperebutkan Piala Bergilir Presiden RI pada 1 November 2015, memang masih terjadi praktik kekerasan, hanya saja tidak separah tahun-tahun sebelumnya.

Di samping itu, kata dia, dari sisi manajemen pelaksanaan, karapan sapi yang digelar selama ini belum baik, dan berlangsung hingga dua.

“Ini juga membutuhkan perbaikan dan penetapan tenggat waktu pelaksanaan berupa pergub dari Gubernur Jawa Timur,” ucapnya.

Jika, sambung mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Sampang ini, landasan tentang tenggat waktu pelaksanaan sudah ada, maka panitia pelaksana karapan sapi harus mematuhi ketentuan itu.

“Sekarang ini kan belum ada ketentuan tentang batasan waktu pelaksanaan karapan sapi ini. Jadi terkadang hingga dua hari, meski sebenarnya bisa diselesaikan selama satu hari,” ujarnya.

Budayawan Pamekasan Iskandar menilai festival karapan sapi itu sebenarnya memiliki posisi tawar tinggi dalam menarik kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Madura, apabila nantinya bisa dikemas menarik dan tidak ada lagi praktik kekerasan.

“Karena karapan sapi ini merupakan satu-satunya budaya di dunia dan hanya ada di Madura,” katanya.

Selain karapan sapi, jenis seni budaya lainnya yang juga layak dipromosikan untuk menarik kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Madura adalah festival kecantikan sapi atau yang dikenal dengan sebutan “Sapi Sonok”.

Ke depan, sambung Ketua Yayasan Landhep Semmo Madura itu, perlu disusun rangkaian kegiatan terintegratif, antara karapan sapi, kontes sapi sonok dan pementasan seni budaya Madura, sehingga Madura bisa menjadi tujuan wisata budaya wisatawan mancanegara.

“Kalau pada pelaksanaan festival karapan sapi 2015 ini, kan terkesan tidak teratur. Jarak waktu antara festival Sapi Sonok dengan karapan sapi kan jauh. Demikian juga dengan pementasan seni budaya Madura dalam acara Semalam di Madura itu,” ucap Iskandar.

Selain itu, dukungan anggaran dari pemerintah daerah untuk pengembangan dan pelestarian seni budaya Madura harus ditingkatkan. Hal itu, karena berdasarkan fakta, beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur yang maju dan terkenal dari sisi seni budaya, salah satunya karena dukungan anggaran cukup memadai.

Artikel ini ditulis oleh: