Jakarta, Aktual.com — Politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo mengatakan, bahwa setidaknya ada lima tantangan terbesar partai Golkar di tahun 2016, baik persoalan soliditas akibat pertikaian internal hingga desakan Munas yang muncul dari dalam maupun luar partai berlambang pohon beringin tersebut.
“Pada 2016 tantangan yang menghadang partai Golkar adalah, pertama masalah soliditas partai akibat pertikaian internal yang berlarut-larut dan desakan munas, baik dari dalam maupun dari luar partai yang semakin kuat dan masif,” kata Bambang dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (31/12) malam.
Tidak hanya, tantangan kedua yaitu permasalahan hukum terkait skandal “papa minta saham” yang suka atau tidak suka berpotensi menggerus suara partai dan menggerogoti citra partai yang memang tengah terpuruk akibat konflik internal.
Dan, sikap pemerintah yang makin terlihat secara sengaja mempersulit legalitas kepengurusan partal Golkar hasil Munas Bali 2014-2019.
“Kendati akhirnya SK kepengurusan Munas Ancol telah dicabut, namun tampaknya pemerintah cenderung memelihara konflik di internal partai Golkar dengan belum diterbitkannya SK kepengurusan hasil Munas Bali hingga saat ini,” sebut ia sebagai tantangan ketiga.
Keempat, lanjut Bambang, bergesernya kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) yang kian melemahnya parlemen terhadap eksekutif. Padahal, ujar komisi III itu, taring Golkar kemarin begitu tajam di parlemen karena soliditas KMP yang menguasai mayoritas suara.
“Kelima, kekalahan di Pilkada serentak gelombang pertama 2015 lalu yang begitu telak di berbagai daerah berpotensi menjalar ke Pilkada-pilkada serentak berikutnya yang mengancam secara langsung maupun tidak langsung terhadap perolehan kursi DPR pada Pemilu 2019,” sebut Bendahara Umum DPP Partai Golkar Munas Bali tersebut.
“Dari lima catatan di atas, menurut saya Golkar harus segera melakukan langkah-langkah konsolidasi, antisipasi dan responsif terhadap dinamika masyarakat atau publik agar Golkar sebagai partai, tetap mendapat simpati dan tidak menjadi musuh publik (atau public enemy),” tandas anggota komisi III DPR RI itu.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang