Jakarta, Aktual.co — Ketua Komisi XI DPR RI Fadel Muhammad mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) akan diundur dan dimasukkan ke dalam Prolegnas 2016, dari sebelumnya yang ditargetkan selesai pada 2015.
Menanggapi penundaan tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbananas), Sigit Pramono, mengaku kecewa dan mengatakan bahwa pemerintah tidak serius mempersiapkan pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang menurutnya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
“Itu (RUU JPSK) sangat mendesak. Kita bangsa yang tidak serius. Jelas antisipasi krisis itu sudah mendesak, tapi belum juga dibahas-bahas,” tegas Sigit dalam diskusi Urgensi JPSK Dalam Menjaga Stabilitas Perbankan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (9/6).
Lebih lanjut dikatakan dia, ada sejumlah alasan untuk menyegerakan payung hukum antisipasi penanganan krisis ekonomi. Namun sejumlah alasan itu bahkan tak mampu membuat pemerintah dan DPR menomorsatukan pembahasan JPSK di tingkat pembahasan.
“Bagi politisi memang gak penting urusan krisis. Makanya selalu nomor dua, makanya saya sayangkan Komisi XI lebih memilih membahas RUU Bank Indonesia dan Perbankan, tapi JPSK justru baru rencana tahun depan,” ketusnya.
Ancaman krisis ekonomi, kata Sigit, semakin besar dan semakin pendek intensitasnya. “Memang kita tidak tahu kapan krisis, tapi sekarang interval krisis semakin dekat. Coba hitung saja sudah berapa krisis sejak tahun 2.000,” tutur Sigit.
JPSK, kata dia, akan menjadi payung hukum pengambil kebijakan dari kriminalisasi saat krisis ekonomi. Dalam hal ini, Sigit menilai Pemerintah masih terlau santai menghadapi krisis yang terjadi. Ia pun mencontohkan yang terjadi pada kasus Bank Century.”Seandainya sekarang krisis, siapa yang seharusnya menentukan krisis, siapa yang menalangi krisis? Uangnya siapa saat mau talangi bank? Sekarang nggak jelas. Kalau ada JPSK tidak akan ada (kasus) Century. Mau tutup yah tutup saja, bukan seperti ini jadi ngambang, pemerintah kita selalu santai-santai sama krisis,” terang Sigit.
“Harus ada kepastian untuk pengambil keputusan. Jangan nanti nggak ada pejabat yang mau ambil keputusan karena takut dikriminalisasi,” imbuhnya.

Artikel ini ditulis oleh: