Bandung, Aktual.com —  “Gubug sunyi di pinggir danau, Diam-diam tersenyum dipeluk mentari senja, Yang juga nakal meraba-raba ujung bunga rerumputan, Lagu alam memang sunyi, sayang…” Larik demi larik dari tembang “1.000 Mil Lebih Sedepa” karya pegiat alam bebas, Iwan Abdurrahman akrab dipanggil Abah Iwan, menemani syahdunya alam berbalut kabut yang turun perlahan-lahan serta dinginnya yang menusuk tulang sumsum terdengar mengalun ditemani secangkir kopi susu hangat di tepian Situ Patenggang, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Lagu alam memang sunyi. Di tepian itu hanya keheningan alam sembari bayang-bayang perbukitan yang sebenarnya merupakan permadani kehijauan kebun teh yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.

Keeksotikan alam Situ Patenggang memang menawarkan sensasi tersendiri dengan duduk di bebatuan dan tenda telah berdiri di belakangnya. Hanya bara api unggun kecil yang mencoba menepis dinginnya malam. Sayang suasana demikian dilewati begitu saja.

Untuk mencapai lokasi Situ Patenggang, pengunjung akan melewati alam khas Tatar Priangan dengan jalan berliku-liku dengan di kiri kanan hutan tropis. Selepas dari Bumi Perkemahan Ranca Upas, bentangan alam mulai berubah dengan sepanjang jauh mata memandang kehijauan kebun teh yang sangat memanjakan mata.

Situ Patenggang merupakan danau yang berada di ketinggian 1.600 Meter di atas Permukaan Laut (MdPL) yang berjarak 35 kilometer ke arah selatan dari Kota Bandung atau memakan waktu sekitar empat jam mengingat kemacetan di daerah Kopo dan Soreang. Atau tepatnya di kaki Gunung Patuha yang juga memiliki objek wisata alam Kawah Putih.

Luas Situ Patenggang sekitar 45 ribu hektare dari total luas cagar alam 123.077,15 hektare.

Situ Patenggang yang dalam bahasa Sunda berarti “Patengan-teangan” atau Saling Mencari, memiliki mitos cinta Putra Prabu dan Putri Titisan Dewi, Ki Santang dan Dewi Rengganis. Keduanya berpisah cukup lama namun keduanya saling mencari hingga akhirnya bertemu kembali di tepian Situ Patenggang yang namanya saat ini “Batu Cinta”.

Dewi Rengganis meminta dibuatkan danau dan sebuah perahu untuk berlayar bersama, perahu itu saat ini menjadi pulau yang berbentuk hati. Saat ini, di lokasi Batu Cinta banyak didatangi wisatawan baik untuk berselfie ria maupun duduk-duduk menikmati bentangan air yang berayun-ayun pelan mengikuti angin dari perbukitan yang mengelilingi danau tersebut.

“Kedatangan saya ke Danau Patenggang bisa dikatakan sering, untuk menikmati keindahan alam dan suasananya yang berbeda dibandingkan tempat wisata alam lainnya,” kata Rini, salah seorang pengunjung asal Kota Bandung.

Rini beserta kawan-kawannya sengaja menikmati liburan panjang akhir tahun 2015 dengan menggunakan kendaraan roda dua setelah sebelumnya mengunjungi obyek wisata Kawah Putih yang posisinya sejajar dengan Situ Patenggang.

“Kawasan Bandung Selatan memang surga obyek wisata alam, membuat kita ingin sering mengunjunginya,” katanya.

Jika sudah puas menikmati sajian alam nan ciamik itu, pengunjung pun dapat menikmati berkeliling kebun teh dengan menggunakan mobil. Namun ada syaratnya mobil harus sekelas jeep yang memiliki 4WD agar bisa melintasi jalan perkebunan teh. Paling tidak sekitar dua jam melintasi jalur itu.

Dari tepian jalan, pengunjung pun akan kembali menyaksikan bentangan alam perkebunan teh dan rumah-rumah pegawai perkebunan menjadi satu kesatuan dengan perbukitan di belakangnya. Benar-benar lukisan alam yang luar biasa.

Perjalanan yang lumayan mengocok-ngocok perut itu, akhirnya tiba di jalan raya yang menghubungkan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Cianjur. Tepatnya menuju Pantai Cidaun.

Kendaraan pun kembali ke Situ Patenggang dan menghantarkan penumpangnya untuk menikmati sajian makanan di hadapan danau purba tersebut.

Bagi mereka yang suka lari atau jogging, bisa pula melangkahkan kakinya mengikuti jalan perkebunan menuju ke arah Bukit Cadas Panjang yang berada di atas Buper Ranca Upas. Dengan udara yang sejuk, dipastikan tidak akan membuat letih sembari keramahan penduduknya.

Pengunjung pun dapat melihat para pemetik teh yang sudah menunaikan kewajibannya sejak pagi hari. Selain itu, langkah kaki akan melewati komplek perumahan pegawai perkebunan yang sederhana.

Hingga tidak salahnya mencoba juga melewati bentangan alam itu dengan lari atau sekadar trekking.

Bisa dikatakan, jalur Ciwidey-Situ Patenggang merupakan jalur sutra objek wisata alam sejak dari awal perjalanan terdapat Kawah Putih yang berada di Gunung Patuha, kemudian Bumi Perkemahan Ranca Upas, pemandian air panas Ranca Walini, sampai Situ Patenggang.

Banyak Sampah Kendati demikian, keindahan Situ Patenggang sedikit terganggu dengan banyaknya sampah yang ditinggalkan oleh para wisatawan karena mereka tidak memiliki kesadaran akan lingkungan.

Sampah banyak bertebaran baik itu di tepian Situ Patenggang maupun di jalan setapak. Sampah plastik yang sulit terurai sangat mudah ditemui di areal objek wisata alam itu.

Padahal jika pengunjung memiliki kesadaran, mereka saat berkunjung bisa membawa kantung plastik untuk membawa kembali sampahnya. Meski pengelola terhitung kurang menyediakan tempat sampah.

“Alangkah bagusnya, jika pengelola menyarankan para pengunjung untuk membawa kembali sampahnya,” kata Sahrul, wisatawan asal Padang, Sumatera Barat.

Ia menyebutkan kehadiran sampah benar-benar mengganggu suasana apalagi kalau sampahnya sudah berbau. “Sayang jika objek wisata alam yang indah seperti ini, rusak oleh sampah,” katanya.

Sesekali terlihat, petugas pengelola Situ Patenggang mengelilingi danau tersebut untuk mengumpulkan sampah dari tepian danau. “Namun tetap saja harus ada kesadaran dari pengunjung itu sendiri,” tegasnya.

Situ Patenggang merupakan salah satu destinasi wisatawan terlebih lagi saat musim liburan panjang, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Tahun Baru, untuk mencapai lokasi itu membutuhkan kesabaran harus menghadapi kemacetan panjang dari Ciwidey sampai ke Situ Patenggang.

Bersamaan momentum itu pula sampah semakin banyak. Sehingga satu-satunya jalan adalah mengharapkan kesadaran kembali dari wisatawan.

Larik demi larik sambungan tembang Iwan Abdurrahman “1.000 Mil Lebih Sedepa”, “Apalagi sore ini, sore ini sore Sabtu. Sore Biasa Kita Berdua. Membelai mentari senja di ujung jalan Bandung Utara, menemani di tepian Situ Patenggang menuju peraduan “sleeping bag” di dalam tenda. Yang terdengar hanya kesunyian alam.

Artikel ini ditulis oleh: