Jakarta, Aktual.com — Pemerintah seharusnya menanggapi serius rencana mogok yang akan dilakukan oleh karyawan Jakarta International Container Terminal (JICT). Pasalnya, JICT menangani 70 persen distribusi barang Jabodetabek, sehingga jika sampai mogok terjadi maka dipastikan akan melumpuhkan kegiatan ekonomi dan membawa dampak kerugian yang luas bagi masyarakat.

“Dari dokumen perizinan, akar permasalahnnya sesungguhnya ada pada kesewenangan manajemen JICT yang melakukan PHK terhadap 38 karyawan outsourcing dan mutasi serta pemberian surat peringatan kepada karyawan yang dilakukan tanpa prosedur dengan dalih pekerja-pekerja tersebut ikut menolak perpanjangan kontrak JICT,” ujar Direktur Indonesia Port Watch (IPW), Syaiful Hasan di Jakarta, Kamis (7/1).

Berkaca kejadian pada 28 Juli 2014, lanjutnya, akibat pemecatan dua pegawai JICT oleh Dirut Pelindo II RJ Lino sehingga berimbas kepada terhentinya aktivitas JICT selama 9 jam serta berdampak terhadap kerugian mencapai puluhan miliar rupiah.

“Sangat konyol jika kerugian tersebut harus ditanggung kembali hanya karena hubungan industrial yang harusnya bisa diselesaikan tanpa merugikan banyak pihak dan mengganggu kegiatan ekonomi nasional,” tegasnya.

Dalam konteks hal perburuhan, lanjutnya, sangat dipahami jika aksi mogok adalah hak karyawan JICT dan merupakan dampak akibat gagalnya perundingan serta dilindungi Undang-Undang 13 tahun 2013. Untuk itu ada baiknya kita melihat kebelakang apa yang sesungguhnya tidak tercapai antara karyawan dengan manajemen JICT.

“Disinyalir potensi kegaduhan akibat mogok JICT terjadi karena masih adanya pengaruh mantan Dirut Pelindo II RJ Lino kepada jajaran manajemen JICT untuk mereduksi gerakan penolakan perpanjangan JICT,” ungkapnya.

Menurutnya, manajemen JICT harus bijak melihat bahwa Lino sudah tidak lagi menjabat sebagai nahkoda Pelindo II. Sehingga perselisihan industrial yang meruncing akibat isu perpanjangan JICT tidak seharusnya membawa dampak kerugian bagi aktivitas ekspor impor nasional.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka