Jakarta, Aktual.com — Perangkat hukum pidana pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dinilai mengalami kekeliruan paradigma, lantaran hanya mengandalkan uang pengganti kejahatan korupsi yang terkandung dalam Pasal 18 UU No 31/1999 Sebagaimana diubah 20/2001 tentang tindak pidana korupsi, di mana Pengembalian harta atau kekayaan hanya ditujukan kepada terpidana (pelakunya) saja.

Padahal, modus menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsi biasanya menggunakan sanak keluarga, kerabat dekat atau orang kepercayaannya termasuk para ahli warisnya.

Oleh sebab itu, perlu perangkat hukum yang tegas yang mengatur pengembalian aset tindak pidana korupsi dari pelaku dan ahli warisnya sebagai bagian yang ikut bersama-sama bertanggung jawab mengembalikan hasil tindak pidana korupsi tersebut kepada negara.

Demikian disampaikan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi, melalui siaran pers yang diterima Aktual.com, Sabtu (9/1).

Haswandi menuturkan, perangkat hukum tindak pidana korupsi dalam mengembalikan aset hasil korupsi pada saat ini belum
sempurna, karena hanya mengutamakan uang pengganti terhadap hasil kejahatan korupsi dari pelaku sebagaimana dimaksud Pasal 18 dan gugatan berdasarkan Pasal 38C UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.

Sedangkan norma hukum perdata materilnya terhadap ahli
waris dari pelaku tindak pidana korupsi belum diatur dalam undang-undang dimaksud.

Kedua, keberadaan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No 31 Tahun 1999 hanya sekadar pintu gerbang bahwa ahli waris pelaku tindak pidana korupsi dapat digugat apabila pelaku sebagai pewaris dari ahli waris meninggal dunia sedangkan yang bersangkutan belum mengembalikan hasil korupsinya kepada negara.

Untuk itu, menurut Haswandi, perlu dirumuskan norma tentang perbuatan melawan hukum yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menggugat ahli waris pelaku tindak pidana korupsi disebabkan Pasal 1365 ataupun Pasal 1367 KUHPerdata belum dapat menjerat ahli waris pelaku tindak pidana.

Ketiga, Konsep hukum mendatang dalam pengembalian aset tindak pidana korupsi pelaku dan ahli warisnya dalam sistem hukum Indonesia harus ditujukan untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang dapat menuntut tidak hanya kepada pelakunya, tetapi juga ahli waris pelaku tindak pidana korupsi, karena tidak seorangpun boleh diuntungkan dari hasil suatu kejahatan.

“Untuk itu, perlu pengaturan tentang norma hukum tindak pidana korupsi dan norma hukum perdata materil maupun formil yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut menyatu dalam suatu produk perundang-undangan,” kata dia. .

Menurut Haswandi, apabila menunggu diubahnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata materil dan hukum acara perdata (HIR/RBG) yang berlaku saat ini, hal itu dapat memakan waktu yang relatif lama.

Apalagi tindak pidana korupsi bersifat extraordinary maka perlu tindakan dan pemberantasan yang bersifat extraordinary pula. Selain itu, diperlukan keseriusan Indonesia menerapkan UNCAC 2003 yang telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2006.

Pendapat tersebut, juga masuk dalam disertasinya berjudul: “Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pelaku dan Ahli Warisnya Menurut Sistem Hukum Indonesia”, yang disampaikan ketika ujian terbuka Program Doktor
di Universitas Andalas, Padang, 9 Januari 2016.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby