Jakarta, Aktual.com – Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq menilai ada hal menarik dari ramainya pemberitaan media dalam dan luar negeri terkait peristiwa penyerangan di Sarinah, Kamis (14/1) lalu.
Umumnya, pemberitaan merespon positif tindakan cepat aparat kepolisian mengatasi situasi.
Namun Mahfudz mencatat ada beberapa hal yang bisa jadi referensi dalam upaya penanganan teror.
Pertama, kata dia, polisi dengan cepat sudah bisa membersihkan lokasi kejadian. Kedua, ada apresiasi respon masyarakat Indonesia melakukan penggalangan opini menyampaikan sikap atas peristiwa tersebut.
“Mereka (masyarakat) tidak takut dan berdoa bersama menghadapi teroris. Itu penting kita cermati,” ujar politisi PKS itu, dalam diskusi “Di balik Teror Jakarta” di Cikini, Jakarta, Sabtu (16/1).
Meskipun, diakuinya, publik secara psikologis sempat cemas atas kejadian penyerangan yang diwarnai bom dan tembakan itu.
“Bukan massa aja, tapi media massa juga terjebak dalam kepanikan sehingga mekanisme jurnalistik tidak djalankan secara prosedural. Sehingga ada berita bohong yang membuat beberapa media mendapat teguran,” kata dia.
Pertanyaannya, lanjut Mahfudz, kenapa bom Sarinah yang lebih kecil skala ledakannya, tapi mampu ciptakan kepanikan yang meluas ?
Menurut Mahfudz, faktor itu disebabkan karena masyarakat Imdonesia termasuk media, sejak dua tahun lalu telah mengalami terpaan yang intens dan massif terhadap teror di belahan dunia, sebutlah ISIS.
“Nah dua tahun masyarakat kita terkondisikan aksi teror ini. Kemudian terjadi di Jakarta, meski kecil tapi efek psikolognya besar,” kata dia.
Kedua, lembaga keamanan seperti BIN, polisi dan BNPT sudah sejak dua tahun terakhir kerap menyampaikan ke publik tentang adanya kelompok radikal.
Mahfudz menambahkan, kurang lebih ada 16 kelompok radikal independen, lima di antara terafiliasi ISIS. Beberapa bulan sebelumnya pun juga telah ada “warning” akan adanya aksi di Indonesia.
“Begitu ini terjadi mereka menstimulir ledakan kecemasan massa diliputi ketakutan,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh: