Jakarta, Aktual.com — Bahrun Naim, terduga dalang aksi teror di Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, rupanya dikenal sebagai orang yang pendiam. Namun, memiliki tingkat intelektual tinggi.
Selain itu, Bahrun juga ahli dalam menyusun rancangan skenario ‘perang gerilya kota’.
Demikian diungkapkan pengamat teroris Harits Abu Ulya yang mengaku pernah menjalin hubungan intens dengan Bahrun. Bahkan, keduanya memiliki ikatan emosional yang kuat. Menurut pengakuan Harits, dirinya pernah memberikan bantuan hukum ketika Bahrun dipenjara di Solo.
“Saya kenal baik dengan Bahrun Naim. Dia ini orangnya pendiam tapi smart. Saya akui dia smart. Dia orang yang bisa belajar dengan baik,” kata Harits dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/1).
Harits menyatakan Bahrun punya peranan yang cukup menonjol di jaringannya dengan memberikan kontribusi pemikiran tentang konsep perlawanan. Hal itu pula yang dianggap Harits cukup dapat menjelaskan mengapa banyak pihak menyebut aksi teror di Thamrin terkait dengan perebutan kepemimpinan jaringan ISIS di Asia Tenggara.
Bahrun merupakan anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang telah bubar. Adanya perbedaan pemikiran di tubuh JAT membuat kelompok pimpinan Abu Bakar Baasyir terbelah.
Dalam hal ini ia memilih ikut bersama 10 persen mantan anggota JAT yang setia mengikuti langkah Baasyir bergabung ISIS.
Pengorganisasian jaringan ISIS di luar Timur Tengah pada dasarnya bersifat cair, atau tidak terorganisir dengan baik. Bahkan, ketika jaringan masih berbasis di Solo dan sekitar Jawa, tak sedikit dari mereka yang terkontaminasi dengan pihak intelijen.
Dalam kondisi cair seperti itu, maka muncullah sosok Bahrun yang kemudian mampu memberikan persfektif bagaimana memberikan perlawanan. Pada praktiknya, kata Harits, Bahrun juga mengajarkan bagaimana cara membuat bom rakitan.
“Kemudian dia juga yang mengingatkan bagaimana pentingnya sel komando putus,” ujarnya.
Harits menjelaskan, kunci dari sistem komando putus ada pada tingkat militansi dari setiap anggota. Artinya, setiap aksi yang dilakukan tidak harus terhubung dengan komando pusat. Aksi bisa dilakukan sendiri-sendiri dan bahkan tidak menutup kemungkinan mampu membangun jaringan terpisah.
Dalam konteks aksi teror, Harits pun mengakui bahwa sistem sel komando putus sangat berbahaya dalam memberikan dampak pada praktik di lapangan. Sebab setiap aksi pada akhirnya bergantung pada keyakinan dan loyalitas dari setiap anggota selaku eksekutor.
Sehingga, Harits menyimpulkan bahwa semua orang yang terlibat atau menjadi bagian yang tergabung bersama ISIS dengan sendirinya telah membekali diri sebagai ancaman yang potensial.
“Potensi Bahrun pun demikian. Dia memberikan pengaruh bagaimana ini bisa dioperasionalkan, termasuk gagasan dia tentang perang gerilya kota,” ungkapnya.
Menurut Harits, sahabatnya sudah lama mencari formula baru untuk menggerakkan karingan dalam gerilya kota. Gaya operasi itu sebagai contoh, untuk membedakan Bahrun dengan Santoso yang menggerakkan jaringan untuk bergerilya di hutan.
“Maka kemarin ketika saya dengar terjadi bom Sarinah, saya jadi teringat, jangan-jangan ini gerilya kota yang dimau,” ujar Harits.
Bagaimanapun, ia belum sampai pada kesimpulan bahwa Bahrun sebagai dalang ataupun pemimpin khalifah ISIS di Asia Tenggara. Untuk itu, ada kebutuhan untuk mencari tahu peran Bahrun sebenarnya.
Harits berpendapat kepolisian bisa membedah komunikasi di balik aksi kemarin dengan instruksi atau arahan dari kelompok ISIS yang berbasis di Suriah. “Karena Bahrun Naim tidak pernah ke Jakarta. Dia di Suriah. Dia tidak akan balik dengan dua istinya dan dua anaknya,” ucap dia.
Harits menegaskan hubungannya dengan Bahrun tidak lebih dari urusan advokasi ketika Bahrun tersangkut hukum di Solo. Lebih dari itu, dirinya tidak lagi mengetahui kelanjutan dari kisah perjalanan Bahrun.
“Bahkan dia pergi ke Suriah pun saya tidak tahu. Tahu-tahu kemudian saya harus jadi orang yang mencuci piring persoalan-persoalan pribadi dia,” katanya.
Sejak melepas komunikasi dengan Bahrun, Harits dibuat jungkir balik untuk mengurusi kasus hilangnya seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta, bernama Siti Lestari, yang diduga kuat telah dibawa kabur ke Suriah.
Orang tua Siti meminta tolong dan memohon bantuan Harits untuk menemukan kembali anaknya. “Orang tuanya tidak tahu, bahwa saya tahu, orang yang membawa Lestari itu adalah orang yang saya kenal,” demikian Harits.
Artikel ini ditulis oleh: