Semarang, Aktual.com — Kelompok ‘Sound of Poems’ Kota Solo menyajikan sejumlah karya musikalisasi puisi dalam pementasan seri ke-10 diselenggarakan oleh Forum Kilometer Nol Borobudur di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (17/1) malam.

Karya musikalisasi puisi yang ditampilkan sejumlah anggota kelompok SOP Solo, yakni Max Baihaqi, Sriyono, (gitar), Giri, Ine (biola), Lestari, dan Cahwati (vokal) itu, antara lain bersumber dari puisi berjudul “Nyanyian Matahari Tambran” dan Tidak Ada Apa-Apa di Sini” (Darmanto Jatman), “Hutan-Hutan Terbakar” (Wijang Warek), “Anak-Anakku” dan “Biar” (Sosiawan Leak).

“Puisi dan musik, ibarat nasi dan minyak. Jadinya ‘sego goreng’ (nasi goreng), bukan ‘sego gupak lenga’ (nasi terkena minyak). Konsep kami sederhana, musik itu dinamis,” kata Baihaqi yang juga pemimpin kelompok tersebut, kepada wartawan.

Ia mengemukakan setiap menggarap karya musikalisasi puisi selalu berupaya menginterpretasi sekuat mungkin suatu puisi tanpa membatasi diri.

“Untuk musiknya, kalau umumnya banyak membuat musik terikat ritem, kami tidak,” ujar dia dalam sarasehan di sela pementasan hingga menjelang tengah malam itu.

Hadir pada kesempatan itu, antara lain budayawan Magelang Sutanto Mendut, Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Kabupaten Magelang Abbet Nugroho, Ketua Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) 15 Umar Chusaeni, pengelola komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur Sucoro, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Susilo Anggoro, dan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto.

Pada kesempatan itu, ia juga menjelaskan tentang proses kelompoknya berkarya musikalisasi puisi dan mengelola kelompok yang berdiri sejak 1991 dengan saat ini total anggotanya 18 orang. Pada pementasan ke-10 FKN Borobudur di Studio Mendut itu, tidak semua anggota kelompok SOP hadir.

Ia menyebut pentingnya generasi muda semakin kuat kesadaran untuk memahami musikalisasi puisi.

“Melalui karya-karya kami, memberi kabar bahwa ada hal-hal lain yang belum pernah dimengerti orang lain, kita bisa mengukur diri, menempatkan diri di mana, kita gambarkan tentang peristiwa yang kita mengerti lebih awal, bisa diterima dengan hati, bukan dengan mulut atau telinga,” ujarnya.

Budayawan Sutanto Mendut mengemukakan puisi dan musik sebagai kesatuan.

“Sebelum ada puisi, ada syair yang musikal,” ujarnya.

Pada pementasan ke-10 FKN Borobudur, penyanyi dari Yogyakarta Anggi Satoko dengan gitar akustiknya menyuguhkan sejumlah karya, antara lain berjudul “Semestinya, “Doa Anak”, dan satu lagu lain yang disebutnya belum berjudul tetapi isinya tentang kekerasan terhadap alam dan satwa.

Selain itu, tampil juga kelompok musik balada “Troubador” (Yogyakarta), Magelang Beatbox Family, dan Bengkel Seni Universitas Tidar (Untidar) Magelang.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara